~¤8¤~ tradisi

6 2 0
                                    

Tidak semua pertemuan membuahkan kenangan, karna ada kalanya merasa tak bermakna, sebab kita hanyalah orang biasa baginya.
.


"Dua duanya."

"Oke kita belikan, sini uangnya!!." Cino menyodorkan tangannya, dan segera diberikan dalam waktu singkat oleh Dee. Uang berwarna hijau muda itu sekarang sudah berpindah kegenggaman Cino.

"Kuy Da!!," ajak Cino yang langsung diikuti oleh Lida dibelakangnya.

"KEMBALIANNYA JANGAN DIPINTA LAGI, BUAT KITA BELI MINUM DI JALAN." Lida berteriak diambang pintu. Sedangkan Nana dan Dee hanya memutar bola mata malas. Sudah menjadi tradisi mereka berempat sejak SMP,  jika minta dibelikan, maka uang kembaliannya tidak akan dikembalikan, dan sialnya lagi Dee tidak punya uang receh, terpaksa dia memberikan uang dua puluh ribu, padahal harga titipannya paling sepuluh ribuan. Biasa, cari yang murah biar untung banyak. Kalau bukan karna harus menyontek PR pelajaran Buk Nur si guru tukang ceramah itu, sudah dipastikan Dee akan beli sendiri.

Cino dan Lida berjalan dengan santai. Koprasi adalah tujuan mereka kali ini. Tidak ada rasa malu ketika saling bercanda dan tertawa bersama. Bermain kejar kejaran di depan kelas orang lain, bahkan ada yang sampai menganggap mereka gila karna tak henti hentinya tertawa. Tak tahukah bahwa mereka sedang bahagia?.

"Beli apa ni kita?." Tanya Cino sebari mengibas ibaskan tangannya, mengalih fungsikan menjadi kipas, habisnya gerah dari tadi lari lari mulu ngejar Lida.

"Beliiiii.. apa ya?" Lida juga sedang berfikir sepertinya.

"Eum... minuman aja deh, kan mereka mau pulang bareng tuh, dimotorkan panas. Dan yang paling penting...minuman itu murah. Betul apa betul?."

"Edi cemerlang."

"Ide Da ide, bodohnya jangan dipelihara dong," Cino membenarkan.

Pandangan Cino berhenti, bersamaan dengan langkah kaki yang juga terhenti. seperti terpaku pada sesuatu di ambang pintu kelas XII-4, matanya menyipit, nemperjelas penglihatannya.

"Biasa aja kali liatinnya," tegur Lida yang juga tengan melihat ke arah yang sama. Disana terlihat seorang laki laki tinggi tegap, dengan senyum andalan manisnya yang benar benar memikat.

Bukan karna ketampanannya yang membuat Cino berhenti, tapi karna laki laki itu adalah laki laki pemaaf yang menjelma menjadi malaikat penegur dikamar mandi bebrapa hari lalu.

Cino mengerjap. Kepergok deh. "Hm? heheheh..."

"Lo suka ya sama kak Hendrik?" Pertanyaan yang sangat konyol dilontarkan, tapi entah kenapa terasa menggelitik bagi Cino.

'Oh namanya kak Hendrik.' batin Cino sambil terus mengangguk.

"Woy malah bengong, sambil ngangguk ngangguk lagi, lo masih waras kan?." Tanya Lida sebari menempelkan tangannya pada dahi Cino.

Cino menepis tangan Lida dari dahinya, lalu menatapnya tajam."Kebiasaan deh ah. Iya gue masih waras, lo kali yang udah geser, tiap hari tanya gue masih waras mulu perasaan."

"Eh tapi... wajar aja si lo suka sama dia," ucap Lida seenaknya.

Cino mendengkus. Diakan tidak menyukai Kak Hendrik itu, dia hanya penasaran saja, tapi Lida langsung menyimpulkan sesuatu hanya karna dia melihat hal yang bahkan belum pasti kebenarannya. Dasar Lida." Gue gak suka sama Kak Hendrik, dan itu gak ada yang wajar sama sekali."

SerangkaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang