~¤5¤~ Datang untuk pergi

8 1 0
                                    

Derap langkah mendekat bukan pertanda dia akan bertahan, dia kembali bukan hanya menjajikan keindahan. Karna datang hanya untuk pergi. Dan pergi akan selalu terasa menyakitkan karna membuahkan kerinduan.
.

"Papa!!" Laki laki itu menoleh lalu tersenyum. Lida seperti tersihir, Dua bulan tidak bertemu membuat rasa rindunya memucuk, dan sekarang dia bisa melihat Papanya tersenyum lagi, rasanya benar benar membahagiakan.

"Eh sayang." Senyuman yang begitu manis dan menghangatkan itu membuat Lida juga ikut mengukir senyumnya. Lida memeluk sang Papa sangat erat, menghilangkan rasa Rindu yang pernah terpendam.

Lida melepaskan pelukannya, lalu menatap laki laki itu dengan senyum yang belum juga padam dari kedua sudut bibirnya.

Semenjak Lida berusia lima tahun Papa Lida muali bekerja keluar kota, dan karna jarak yang cukup jauh mangkanya Papanya tidak bisa tinggal dirumah bersama keluarga, dia akan bekerja selama berbulan bulan. Pulang juga paling cuma seminggu bahkan kurang.

Tapi seketika Lida mengernyit, saat melihat sang Papa memakai pakaian rapi nan gagah. Ada apa lagi ini?, tidak mungkin kan jika.... tidak tidak. Ia segera menggelengkan kepalanya beberapa kali, meyakinkan hatinya bahwa hal itu tidak mungkin terjadi.

"Papa kapan pulang?"

"Tadi pagi, tapi kamu udah berangkat sekolah."

Lida mundur beberapa langkah. "Terus kenapa Papa udah rapi lagi?" Seperti ada yang lebih menarik di dibawah kakinya, ia hanya menunduk tak berani menatap sang Papa. Terus berdoa meyakinkan hati, bahwa Papa nya tidak mungkin setega itu.

"Jangan bilang papa mau..." suaranya bergetar, rasa takut kecewa menggelayut tiada henti di benaknya.

"Iya." padat, singkat, jelas tapi menyakitkan. Lida menggigit bibir bawahnya, merasa tak sanggup dengan kenyataan yang diterima.

"Papa mau pergi lagi?" Bertanya sesuatu hal yang sudah pasti. Hanya bisa membuat Lida merasa semakin tertohok, tapi gilanya dia malah mengucapkannya lagi.

"Tadi cuma kebetulan ada tugas di Bandung, jadi mampir dulu sebentar."

Diangkatlah wajahnya, rahang keras pertanda kemarahannya, dia sudah tidak tahan, seminggu mungkin ia terima, tapi sekarang hanya 1 hari pun tidak. Sepadat apa memangnya pekerjaannya?, sampai Sama sekali tidak ada waktu untuk Lida. Air mata rasanya sudah lelah tumpah.

Menyiksa tanpa meraba, itulah kata kata yang pas di ucapkan pada sang Papa darinya, bukan hanya menyakitinya, tapi seluruh anggota keluarganya.

"Papa sayang gak sih sama kita?" Tanyanya dengan keberanian yang mulai terkikis.

"Aku mau Papa disini bukan pergi terus. Aku mau papa kayak dulu." Semakin pelan, bahkan hampir tidak terdengar, tapi sorot matanya masih berani menatap manik mata itu, meski sebenarnya sudah perih.

"Tapi Papa kan harus kerja Da." Suara lembut masih terdengar. Tapi bukannya menenangkan, malah membuat Lida muak dan bosan.

Seringaian kecil itu muncul di sudut bibir sebelah kiri Lida, sesuatu yang tidak pernah Lida tunjukan pada anggota keluarganya, kini terbit.

"Uang bukan segalanya Pa." Air mata tertahan, merasa tak sudi di tumpahkan.

"Oh atau mungkin Papa punya istri lagi?, terus lupa sama kita yang disini?" semakin mendesak, bukan karna merasa kuat, tapi  merasa semakin lelah dengan kenyataan yang membuat hatinya sakit secara perlahan.

SerangkaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang