Perasaan Terganggu

51 2 0
                                    

Elina menggenggam erat ponselnya seraya mendesah. Beberapa pasang mata kini tengah menatapnya dalam-dalam . seakan ingin menerkamnya jika ia tidak segera menunjukkan apa yang sedari tadi ingin ditunjukkannya. Pagi tadi, Michelle membantunya mengumpulkan para detektif dadakan akibat kematian Vino beberapa hari lalu. Sehingga ketika jam makan siang menjelang, mereka lebih memilih untuk berkumpul dibandingkan dengan sekedar mengisi perut mereka.

“Jangan membuat kami menunggu terlalu lama” sarkas. Elina mencoba menekan rasa kesalnya sedalam mungkin terhadap Leo yang kini berada dihadapannya. Jika boleh memilih, ia tidak ingin melakukan penyelidikan semacam ini bersama dengan pria dingin nan menyebalkan tersebut . Namun apa daya, nyatanya pria tersebut justru dijadikan pemimpin dalam kelompok ini.

“aku mendapat beberapa pesan yang cukup menggangguku kemarin” tidak ingin memperpanjang waktu, Elina segera meletakkan ponselnya ditengah mereka. Membiarkan mereka membaca pesan-pesan berupa terror yang sempat diterimanya  “jika ini hanyalah sebuah kejahilan semata , kurasa tidak akan seniat ini” lanjutnya seraya turut mengeluarkan seonggok surat yang  dikirimkan sang peneror kepadanya.

“ternyata kak Vino dibunuh” Sisca menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. Air matanya kembali mengalir. Kali ini sangat deras. Elina memejamkan matanya. Seketika diselimuti perasaan bersalah yang amat sangat. Jika Vino tidak menjalin hubungan dengannya, pria tersebut tidak akan bernasib semalang ini. “maaf” ujarnya lirih “kau boleh membenciku” pasrah. Hanya itu yang dapat Elina lakukan. Setelah mengetahui hal ini, gadis lugu seperti Sisca pun pasti akan tetap menyalahkannya.

“ini bukan salahmu” di luar dugaan, Sisca mencoba untuk tetap menenangkan Elina ditengah isak tangisnya sendiri. Elina segera memeluk Sisca erat. Merasa begitu terharu dengan ucapan gadis tersebut.

“emm.. bukannya bermaksud mengganggu adegan mengharukan ini” sela Bernard dengan nada sekecil mungkin. Merasa tidak enak lantaran  harus menyela percakapan sentimental diantara kedua gadis tersebut “bukankah ada baiknya jika kita segera kembali ke TKP? Mencoba menyelidiki lebih lanjut mengenai kasus ini” ucapannya yang terakhir seketika dihadiahi anggukan setuju dari yang lainnya. Elina dan Sisca segera tersadar .”baiklah” sahut mereka secara bersamaan

“saat ini tim akan dibagi menjadi dua” tanpa basa basi Leo segera mengambil alih pembicaraan “ Bernard, Della, dan Elina, kalian bergabung dalam timku.kita akan segera menyelidiki taman tempat jatuhnya korban. Sisanya, silahkan bergabung membentuk tim sendiri untuk menyelidiki ruang kelas terakhir yang dikunjungi korban”
                ***
Malam ini, Elina benar-benar tidak dapat menutup matanya sedangkan jam mungil diatas nakasnya telah menunjukkan pukul 23.15 . penyelidikan mereka siang tadi membuahkan beberapa hasil. Leo menemukan sapu tangan berwarna coklat dengan ukiran bertuliskan “brown” diujungnya . Michelle menemukan jam tangan Vino yang terjatuh tak jauh dari tempat Vino dinyatakan melompat, sedangkan Bima menemukan sebuah jarum yang berada tepat sepuluh meter dari jam tangan tersebut.

Mungkinkah sang pembunuh seteledor itu? Atau mungkin ia memang sengaja menunjukkan tanda-tanda kehadirannya guna menggertak Elina mengingat bahwa sebelum penyelidikan ini, pihak kepolisian yang telah terlebih dahulu datang tak jua menemukan apapun. Dan jika ditilik dari ketiga bukti tersebut, tak ada sidik jari siapapun kecuali sidik jari Vino sendiri.

Prang !!!
Elina terlonjak kaget . ia mencoba untuk berlari keluar guna memastikan sumber suara tersebut sebelum akhirnya terhenti didepan pintu.

“aku ingin kita bercerai. Aku sudah tidak tahan lagi hidup denganmu !!” itu suara mamanya. Ia memejamkan matanya . Mencoba menetralisir hatinya yang seketika terasa perih. Mengapa ia tidak memiliki keluarga yang normal layaknya teman-temannya?

“terserah. Aku sudah tidak perduli lagi denganmu!!!” nada tinggi yang dilontarkan ayahnya sukses membuat Elina menitikan airmatanya. Ia sudah sering mendengar bahkan melihat pertengkaran kedua orang tuanya sedari menduduki bangku sekolah menengah pertama, namun entah mengapa ketika kembali mendengarnya, rasa sakitnya tetap terasa sama.
                 ***
“hey. Ada apa dengan matamu pagi ini? Apakah kau tidak tidur semalaman?” sapaan dari Gerald , teman sekelasnya dalam pelajaran statistik pagi ini seketika mengejutkannya.

Elina mengerjapkan matanya beberapa kali. Mencoba melawan rasa kantuknya seraya terkekeh kecil. “Aku terlalu asyik menonton drama korea sehingga lupa bahwa subuh telah datang. alhasil, aku hanya tidur tiga jam tadi malam” jelasnya mencoba berdalih. Gerald terkekeh geli. Tanpa sadar tangannya mengusap kepala Elina gemas sembari mengucapkan kata “dasar”

Elina sempat terperangah. Jantungnya berdetak kencang diperlakukan selembut itu oleh Gerald. Lelaki tampan yang sempat menjadi idola teman-temannya. Sedangkan Gerald sendiri segera menarik tangannya setelah tersadar. Baru kali ini ia kelepasan menunjukkan perasaan sayangnya secara terang-terangan kepada Elina. Ia merutuki dirinya berkali-kali didalam hati.

“sudah bermesraannya? Boleh saya lewat?” nada sarkatis itu membuat Elina seketika menoleh, betapa terkejutnya ia melihat Leo berada dikelas ini. Sedangkan Leo hanya menatapnya tajam. Ia berjalan dengan cukup angkuh menuju kursi dibelakang Elina. Membuat gadis tersebut kehilangan mood baik yang baru saja didapatkannya pagi ini.

Entah mengapa ia tidak menyukai Leo. Meskipun tampan dan cerdas, namun pria tersebut terkesan sangat mengintimidasi. Terlebih ia kerap menunjukkan rasa tak sukanya terhadap Elina secara terang-terangan.

“mengapa kau berada dikelas ini? “ Tanya Elina, tampak sangat terganggu.

Leo mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi. "ada yang salah? Aku belum mengambil mata kuliah ini sebelumnya. Dan sebaiknya jangan banyak bertanya”

jawaban tersebut sukses membuat Elina melotot. Tanpa sadar ia menendang meja pria tersebut. Pelan memang, namun dampaknya ternyata luar biasa. Mata Leo seketika menggelap. Membuat Elina merasa sedikit takut. “ma..maaf” ujarnya tertunduk.

Leo berdeham. Mati-matian mencoba untuk mengontrol emosinya. “jangan main-main Elina. Kau belum tahu siapa aku” desisnya tajam.

Elina berakting seolah ia tak mendengarnya. Mencoba menenangkan rasa takutnya yang entah mengapa tak kunjung hilang. Rasanya , selain si “brown” , Leo juga sangat mengganggunya. Dengan sisa-sisa keberaniannya ia bangkit dari duduknya, menatap Leo dengan tatatapan yang dibuat setajam mungkin, lalu berpindah tempat duduk. membuat Leo menggeram, merasa kesal karena baru kali ini ada yang berani menentangnya. Terlebih orang tersebut adalah Elina.

Obsesi (Brown)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang