Sebuah Pengakuan

51 2 0
                                    

Nyatanya, tak perlu menunggu terlalu lama untuk menemukan siapa dalang di balik pembunuhan Vino. Sorang pria berkulit putih, dan bermata cokelat yang baru diketahui bernama Erlan, mendadak menyerahkan diri kepada pihak kepolisian hari ini. Hal tersebut tentu saja membuat kampus mereka kembali gempar. Pasalnya, Erlan merupakan pria baik-baik yang selama ini dikenal sebagai salah satu mahasiswa berprestasi di jurusannya, yakni Arsitektur.

"apa kau tidak merasa bahwa ini terlalu cepat?" Elina memangku dagunya diatas meja dengan sebelah tangan seraya terus berpikir.

Michelle menanggapinya dengan kekehan kecil "tidak juga. Mungkin saja dia mulai jera dengan segala macam permainannya. Setidaknya, 'Brown' tidak lagi mengganggumu akhir-akhir ini bukan?"

Elina mengangguk-anggukkan kepalanya, mencoba membenarkan fakta tersebut meski hatinya menentang. Kejadian pagi tadi, dimana Elina mencoba mengunjungi Erlan bersama beberapa teman detektif lainnya masih terus terngiang. Pria tersebut bertindak layaknya tak pernah mengenal Elina sebelumnya, bahkan ketika gadis tersebut mencoba untuk menanyakan motif dibalik pembunuhan Vino, Erlan tak menjawabnya. Dan satu hal yang sempat mengejutkan Elina adalah fakta bahwa suara penelpon yang kerap mengaku sebagai 'Brown' sangatlah berbeda dengan suara Erlan .

"tapi..."

"apakah kalian tidak ingin melakukan semacam perpisahan ? Meski kita tak memiliki andil yang cukup besar dalam tertangkapnya pelaku, setidaknya kita telah berusaha bukan? Jadi mengapa kita semua tidak melakukan perpisahan sekaligus merayakan kasus yang telah berhasil terpecahkan ini?" seru Sonny dengan begitu antusias. Di sebelahnya, Bima dan Della mengangguk dengan tak kalah antusiasnya. Leo mengerang.

"haruskah?" tanyanya jengah. Ia menatap Elina dengan tatapan seolah meminta pendapat, sedangkan yang ditatap hanya mengedikkan bahu seraya berkata "terserah"

Sejujurnya, Elina tak begitu perduli dengan perbincangan teman-temannya . Otaknya tengah bekerja dengan begitu keras, mencoba mengontrol asumsi-asumsi negatif yang sejak tadi menerjangnya. Kejanggalan tersebut terasa begitu nyata, namun ia tak ingin merusak momen bahagia yang dirasakan oleh teman-temannya sejak Erlan menyerahkan diri. Tanpa disengaja, tatapan Elina bertemu dengan tatapan Bernard, ia baru menyadari bahwa sedari tadi lelaki tersebut tak juga bersuara.

Sirat ketidakpuasan terpancar jelas dari raut lelaki berkulit sawo matang tersebut. Membuat Elina menyadari bahwa ia tidak sendiri. Dengan sedikit tergesa ia bangkit dari kursinya "emm. Bernard, bisa kita bicara sebentar?" tanyanya ragu. Bernard tersentak namun kemudian mengangguk. Ia turut bangkit dari kursinya, siap mengikuti Elina.

"ada apa dengan kalian?" nada dingin yang dilontarkan Leo membuat keduanya berbalik. Elina seketika menyadari bahwa Leo –Eno nya yang dulu- tengah cemburu. Sejak hari dimana untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa Leo merupakan Eno, keduanya memang menjadi jauh lebih dekat.

"hanya ingin berbincang sesaat" sahut Elina acuh tak acuh, ia kembali berjalan dengan sedikit tergesa, diikuti oleh Bernard yang menatapnya bingung.

"bukankah kau juga berpikir bahwa ada yang janggal dari semua ini?" Elina merasa terlalu malas untuk sekedar berbasa-basi. Ia menatap sekilas kearah sekeliling, berusaha meyakinkan diri bahwa tak ada siapapun selain mereka ditaman ini.

"tentu" Bernard menganggukan kepalanya "terlalu mudah. Dan setahuku, hari dimana Vino meninggal, aku mendengar bahwa Erlan tengah menginap di salah satu rumah temannya. Mereka terjaga hingga pagi menjelang hanya untuk sekedar bermain game bersama. Tentu tidak mungkin jika Erlan merupakan pelakunya, anehnya, mengapa pula ia harus menyerahkan diri?"

Elina terperangah. "Bagaimana kau tahu bahwa Errlan tengah menginap pada hari tersebut?"

"dari salah satu teman lama. Ia sempat mengajakku untuk ikut menginap, namun aku terlalu sibuk dengan tugasku kala itu"

Obsesi (Brown)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang