Mengabaikan?

37 3 0
                                    

Danau tersebut begitu tenang, dengan beberapa perubahan mencolok yang kini disadarinya. Elina tak ingat kapan terakhir ia mengunjungi tempat ini, yang pasti, semenjak Eno meninggalkannya beberapa tahun silam, ia hanya akan datang sesekali. Terutama kala rasa rindu menghampirinya.

"sudah sangat lama" Leo bergumam kecil, tampak sedikit mengenang. Elina mengangguk. ia melangkah pelan kearah sebuah bangku tua yang terletak tak jauh dari danau, mencoba menilai sebanyak apa ia mampu mengenang masa kecilnya.

"sepupumu itu.. Ah, siapa namanya? Maaf aku lupa. Apakah ia baik-baik saja saat ini?" Elina bertanya ragu. Ingatannya tentang sepupu Eno tidaklah begitu kuat. Sebab setahunya, pertemuan mereka bahkan tak lebih dari tiga kali. Leo terdiam sejenak. Tatapannya yang sempat melembut kini kembali tajam.

"Dia baik-baik saja" apakah Elina melakukan sebuah kesalahan? Mengapa Leo kembali menjadi sosok yang dingin? Dengan sedikit tergeragap, Elina berusaha untuk kembali membuka suaranya, mencoba mengganti topik secepat yang ia bisa.

"baiklah. Sebenarnaya ada sebuah pertanyaan yang beberapa hari ini menggangguku. Jika namamu Leo, mengapa dahulu kau mengenalkan dirimu sebagai Eno? Jika ditilik dari sisi manapun nama Leo Marfel Renansya tidaklah mengandung kata Eno" mendengar pertanyaan tersebut,Leo menghembuskan nafasnya kasar sebelum mengedikkan bahunya seraya berkata

"Entahlah. Mamaku yang memberikan panggilan tersebut" Elina mengangguk paham, tidak berusaha untuk menggali lebih dalam . "Untuk kasus Brown, apakah ia telah berhenti mengganggumu? Mengingat bahwa Erlan telah resmi tertangkap, harusnya kau merasa lega" Elina mengerjap beberapa kali, tak siap dengan pertanyaan yang tiba-tiba Leo lontarkan. Sejauh ini, Elina bahkan menyadari bahwa Erlan bukanlah pelakunya, namun ia tak dapat berbuat banyak tatkala pihak kepolisian menetapkan pemuda tersebut sebagai tersangka.

"kau benar, aku harusnya merasa lega" mencoba menutupi perasaan gelisahnya, Elina memaksakan sebuah senyuman.

Leo tersenyum kecil. Menanggalkan sikap dinginnya yang sempat muncul. ia memutuskan untuk mengangkat tangan kanannya dan mengusak lembut kepala gadis dihadapannya "tenanglah, ada aku disini" dan kata-kata tersebut sukses membuat jantung Elina berdetak dua kali lebih cepat. Benarkah Leo –Eno nya yang dulu- mampu untuk melindunginya?

***

Rasa takut yang berlebihan hanya akan membunuhmu secara perlahan. Setidaknya jika kau tak sanggup mengatasinya seorang diri, cobalah untuk mencari perlindungan.

"kau tampak luar biasa bahagia hari ini" Elina menatap Michelle dengan begitu saksama, menyadari bahwa sedari tadi senyuman tak pernah lepas dari bibir gadis tersebut.

"tentu saja" Michelle mengangguk mantap. "Bima menyatakan perasaanya padaku tadi malam, dan kami resmi berpacaran" Elina membolakan matanya. Terkejut luar biasa.

"benarkah?" dan ketika Michelle menganggukkan kepalanya, Elina tanpa ragu menghamburkan dirinya ke dalam pelukan gadis tersebut seraya mengucapkan kata selamat berulang kali. Akhirnya sahabatnya mendapatkan lelaki impiannya. Setidaknya, rasa bersalah yang Elina rasakan lantaran secara tak langsung telah melibatkan gadis manis tersebut dalam permasalahannya yang pelik menjadi sedikit berkurang.

Dan interaksi keduanya seketika terhenti begitu Elina menyadari bahwa ponselnya tengah bergetar. Tanpa ragu –bahkan tanpa melihat siapa yang menghubunginya- lantaran mengira bahwa Leo lah sang pemanggil, Elina mengangkat panggilan tersebut. Mengucapkan "halo" secara bersemangat sebelum pada akhirnya terpaku.

"apakah kau merindukanku?" bukankah ini Brown? Elina baru saja akan memutuskan panggilan tersebut kala lelaki di seberang kembali berkata "sebentar lagi kau akan menjadi milikku. Bersiaplah" meski akhirnya sang penelponlah yang memutuskan panggilan, Elina tetap memegang ponselnya dengan begitu erat. Rasa takut yang sempat menghilang beberapa hari ini, seketika kembali datang. Bahkan, lebih besar dari sebelumnya.

Obsesi (Brown)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang