Setahun Lalu

251 14 7
                                    

Aku hanya tahu cara mencintaimu tanpa tahu bagaimana cara melupakanmu.

Hari berganti Hari, Minggu berganti Minggu, Bulan berganti Bulan. Tanpa terasa satu tahun terlewati sudah.

Di sini di Benua Afrika, ketika bulan Februari datang maka musim dingin segera berganti dengan musim panas. Dan tidak terkecuali di Bamako. Kota yang dikelilingi daratan yang gersang, diantara 1,2 juta jiwa penduduknya aku juga turut merasakan perubahan iklim yang mencolok.

Hembusan angin dingin tidak lagi bertiup, berganti dengan hawa panas yang terasa menyengat kulit.

Aku memakai kacamata hitam dan menutupi kepalaku dengan blazer seragam  demi menghalau sengatan matahari Mali yang terasa menggigit di kulit. Bukan aku tidak terbiasa dengan teriknya matahari, tetapi entah mengapa di awal musim panas ini, matahari Mali terasa lebih ganas dari biasanya dan membuat kulitku seperti tersengat api.

Ini adalah kedua kalinya aku menginjakkan kaki di Bamako. Penerbangan perdanaku ke sini adalah bersama Captain David, Captain sekaligus pemilik dari perusahaan penerbangan pesawat charter tempat bekerjaku sekarang. Captain David adalah seorang pebisnis asal Amerika. Captain tua genit yang senang sekali mengintimidasi pramugari dengan powernya sebagai Captain sekaligus owner. Sehingga kita memberinya julukan Ambar "Anjing berbar."

Semua cabin crew yang bekerja disini berasal dari Indonesia. "Ambar" senang merekrut cabin crew indonesia karena profesionalisme kami yang tinggi. Bisa kalian bayangkan ... Kami mau dan sanggup bekerja lebih dari 14 jam sehari, ditambah lagi beberapa jam kerja tambahan jika terjadi delay. Walau dalam keadaan lelah kami masih bisa tersenyum dan melayani penumpang dengan ramah.

Belum lagi dengan kondisi pesawat yang selalu rusak. Sialnya semua APU pesawat milik Captain David tidak berfungsi dengan baik sehingga sistem pendingin udara di kabin juga rusak.

Dengan kondisi kabin yang panas, kami harus selalu me-retouch make up puluhan kali pada saat kami sedang melakukan persiapan di pesawat sebelum penumpang boarding. Kalian semua tahu kan bagaimana ribetnya perempuan dandan! Apalagi dengan keringat yang mengalir deras. Rasanya seperti jadi potong bebek angsa yang dimasak di dalam kuali panas.

Sebenarnya bukan hanya karena alasan itu saja alasan Ambar senang mempekerjakan kami, tetapi karena crew Indonesia tidak pernah berani mengeluh tentang gaji yang kami terima. Meskipun gaji kami berada di bawah standar gaji tenaga kerja asing di luar negeri, kami tidak pernah berani mengeluh pada Ambar apalagi sampai meminta kenaikan gaji padanya.

Siapa suruh ya kita nggak berani speak up jadinya makan hati sendiri. Mungkin karena culture kita yang tidak pernah berani bicara di depan dan hanya mau mengeluh dibelakang saja sehingga membuat kita kurang dihargai dan sering jadi sasaran empuk oleh pengusaha macam si Ambar ini.

"I think you should call the driver, Rana?"

Suara berat Captain Marcus  membuyarkan lamunanku tentang kesulitan-kesulitan yang kami alami  di sini.

"Yes Captain" Aku menoleh pada Capt. Marcus dan segera melakukan perintahnya.

"Tut... Tut... Tut..."

Setelah beberapa kali mencoba menelepon nomer driver yang akan menjemput kami di Bandara Internasional Mali, akhirnya aku menyerah dan menutup sambungan teleponku.

"I'm sorry Capt, i tried but no answer."

"Crap! I know this is Africa, but at least they have the decent to pick up us right on time ini the middle this god damn sun!"

Bandara, Pesawat dan Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang