4. Between Us

31 7 0
                                    

“Hey, berhenti!” Derap langkah lelaki itu kian dipercepat bersamaan dengan bayangan seorang wanita yang berjalan ke sebuah lorong. Mata laki-laki itu membelalak saat mengetahui wanita yang dari tadi dikejarnya lenyap begitu saja.

“Ke mana dia?” bingungnya. Dengan perlahan lelaki itu berjalan menyusuri lorong yang begitu minim cahaya. Angin yang berhembus menyentuh kulit membuat bulu kuduknya merinding, tapi sama sekali tidak menyurutkan semangatnya untuk mencari tahu di mana sang wanita.

Sebuah pintu tua di sisi kanan lorong itu menarik perhatiannya. Dia menetralkan detak jantungnya yang sudah tidak tahan ingin melompat dari tempatnya karena ketakutan. Perlahan tapi pasti, dibukanya pintu itu.

Krieet ....

“Yan!” Belum juga lelaki itu membuka penuh pintu dihadapannya, lelaki lain dengan pakaian casual memanggilnya dari ujung lorong.

“Ada apa?”

“Acara udah mau mulai, tuh. Ngapain juga kelayapan nggak jelas kaya gini? Mau mojok, huh? Cepetan balik!” Belum juga mendapat tanggapan dari lelaki yang dipanggilnya, dia malah pergi meninggalkan tempat itu.

Lelaki yang masih setia bimbang memilih antara mencari wanita misterius itu atau kembali ke acaranya adalah Alfian. Salah seorang aktor terkenal dalam pertunjukan teater musikal dari Kota Viktoria. Setelah beberapa menit bergulat dengan pikirannya, Alfian menutup pintu tua itu dan beranjak dari sana. Sebenarnya dia ingin sekali menyelidiki sesuatu yang ada di sana, tapi ketakutan menghempaskan semuanya.

Suasana semakin mencekam sekarang, angin kembali menyapa dengan sentakan ganas. Kilat dan gemuruh dari atas sana bersahutan seraya turunnya hujan. Masih di tempat yang sama, suara derit pintu kembali terdengar seperti dibuka, tapi ternyata tidak ada seorang pun di sana. Krieet .... Suara derit menggema lagi bersamaan dengan menutupnya pintu itu.

“Huh ... huh ... huh ... maaf, saya telat.” Dengan napas memburu, Alfian memasuki ruang persipan acara.

“Kali ini apa lagi yang kau kejar?” tanya sang sutradara.

“Ah, Pak Arnold selalu saja mengejekku.”

“Heh, aku tidak mengejekmu. Aku hanya bertanya.”

“Iya, dan setelahnya pasti kau bilang bahwa aku hanya berkhayal,” rajuk Alfian.

“Lalu apa namanya, jika kau melihat yang tidak nyata? Setiap apa yang muncul dan kau kejar selalu saja tidak tertangkap,” jelas Arnold, “sudahlah, ayo kita mulai teater hari ini!”

Hanya 30 menit yang dibutuhkan untuk mempersembahkan sebuah judul tearer hari ini. Kisah sedih antara sepasang kekasih yang terpisah oleh alam, dan bumbu-bumbu horor melengkapinya. Saat Alfian dan yang lainnya mengucapkan salam perpisahan kepada penonton, matanya kembali menangkap sekelebat bayangan gadis yang gagal dia kejar.

Tirai teater sudah tertutup. Alfian segera pamit pada rekannya dengan alasan acara keluarga. “Aku pulang dulu, mau ada acara keluarga.”

“Oh, oke.”

“Bukankah Alfian adalah yatim piatu?” celetuk sang sutradara.

“Ah, iya. Mungkin dia ingin berkencan. Seperti anda tidak pernah muda saja, Pak.” Tawa renyah seluruh anggota teater memenuhi ruangan.

****

“Ke mana gadis itu?” tanya Alfian pada dirinya sendiri. Sekarang dia tengah berada di antara padatnya orang-orang yang keluar dari ruang teater. Dengan ketelitian berakurasi tinggi, mata Alfian terus mencari keberadaaan gadis misterius itu.

(not) PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang