Sesekali waktu, aku pernah bertanya pada diriku sendiri apakah aku ini gila? Gadis cantik dengan rambut terurai panjang itu adalah aku, Alexandra Syila. Kehidupanku begitu kosong dan hampa, rasanya tidak ada yang istimewa. Aku merasa antara hidup dan mati, hidup tanpa merasakan apa pun selain kekosongan dan jika aku mengatakan diri ini mati, satu hal yang menyangkalnya kalau aku masih bernapas sampai detik ini.
“Syila!” Panggilan dari wanita yang kupanggil bunda lima tahun belakangan ini membuyarkan lamunanku.
“Iya, Bun,” jawabku dari kamar.
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka.
“Syila cepat keluar! Bantu bundamu di dapur,” titahnya seraya melemparkan tatapan tajam kearahku.
Lelaki yang baru saja berbicara sarkas itu adalah ayahku, ayah kandungku. Sifatnya memang agak kaku dan menyebalkan, menurutku. Ayah menikah dengan bunda lima tahun lalu, setelah dia menjadi duda selama tiga tahun.
Kala itu, aku begitu menentang keras jika ayah menikah lagi. Tapi, tante menasehatiku supaya aku mengizinkan ayah menikah lagi, katanya agar ayah tidak terlalu kewalahan mengurus rumah.
Semalaman aku berpikir. Tepat pukul tiga dini hari, aku terbangun karena mendengar suara benda pecah dari dapur. Segera aku bergegas ke sana, takut-takut ada maling yang menyusup. Betapa terkejutnya aku mengetahui bahwa ayah sedang memasak di sana. Rasa bersalah menyusup ke relung hatiku, karena tidak bisa menjadi putri yang baik untuknya.
“Ayah,” panggilku membuatnya menengok.
“Eh, maaf mengganggu tidurmu,” ucapnya dengan wajah datar.
Oh, iya. Satu lagi fakta unik tentang ayahku, dia hanya mempunyai dua ekspresi, yaitu wajah datar dan senyum tipis. Entah bagaimana dengan semua hal yang dirasakannya, dia hanya menampilkan wajah datar.
“Tak apa ... aku merestui kalau ayah mau menikah lagi,” lirihku.
“Apa?”
“Tak ada pengulangan.” Aku segera beranjak dari tenpatku berdiri menuju kamar.
“Terima kasih, sayang.”
Dua minggu kemudian ayah menikah dengan bunda tanpa ada acara yang mewah, hanya ada akad nikah dan acara makan bersama yang dihadiri oleh keluarga besar dari kedua belah pihak.“Apa yang bisa aku bantu, Bun?” tawarku pada bunda yang sedang menyiapkan meja makan.
“Tidak ada. Sebaiknya kau mandi dan bersiap, kalau sudah segera ke sini agar kita bertiga bisa makan bersama,” tuturnya.
Setelah makan, aku pamit pada bunda dan ayah untuk berangkat ke sekolah. Dengan semangat yang masih penuh, aku menggowes sepeda menyusuri jalanan yang masih lengang. Sebenarnya, ayah sudah menyiapkan sepeda motor untukku, tapi aku menolaknya karena jarak sekolah yang tidak terlalu jauh dari rumah.
Aku mendudukkan diri di bangku paling belakang, tempat paling strategis sebagai seorang pengamat. Baru beberapa siswa yang hadir pagi ini, salah satunya adalah Mia, siswi pemurung di kelasku. Sudah dua malam ini dia muncul di mimpiku dengan tangis pilu meminta bantuan padaku, padahal kami tidak pernah akrab sebelumnya.
Karena penasaran padanya yang muncul dalam mimpiku, aku mengikutinya kemarin saat jam istirahat. Betapa terkejutnya kalau ternyata dia adalah seorang korban bully. Saat Mia hendak ke kantin, tangannya ditarik oleh seseorang ke toilet. Samar-samar, dari balik pintu aku mendengar perdebatan dan jeritan Mia menjadi endingnya. Saat pintu hendak terbuka, aku bersembunyi di salah satu bilik toilet dan mengintipnya dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
(not) Perfect
Historia Corta[KUMCER] 'Between Us' "Kenapa?" bingung Cholin. Dia membuka mata karena tak kunjung merasakan ada benda kenyal yang mendarat di area wajahnya. "Alisa." Ternyata ada Alisa yang tiba-tiba hadir di seberang sana sedang menyaksikan mereka. "Sepertinya d...