6. Metamorfosa Netizen Nyinyir

21 5 8
                                    

Dua pasang mata remaja langsung tertuju pada tempat kosong yang tersedia di sudut kantin. Dengan langkah seribu, mereka bergegas menempati tempat tersebut sebelum direbut orang lain.

“Eits, kita duluan.”

Sebelum keduanya berhasil duduk, ada segerombolan cewek yang terlebih dulu duduk di sana.

“Nggak bisa gitu, dong. Gue sama Nanda duluan yang liat bangkunya kosong,” ucap remaja bertubuh agak gempal.

”Enak saja. Kami yang lebih dulu duduk di sini,” timpal remaja lain dengan mengibaskan rambutnya manja.

“Kutu lo rontok, tuh!” Remaja mungil bernama Nanda juga ikut bersuara.
“Ma-mana ada,” ucap remaja yang tadi mengibaskan rambut.

“Halah, ngadepin mereka cuma buang-buang waktu istirahat. Ayo, Rin, kita pergi!” Nanda mengajak Ririn, remaja bertubuh agak gempal itu mencari tempat lain untuk memakan makanan yang telah mereka beli.

“Dasar cupu!” teriak ketua gerombolan cewek tadi.

Mereka berdua sudah tidak menghiraukan apa yang segerombolan cewek kurang kerjaan itu katakan, anggap saja angin lalu. Dengan lahap, mereka menikmati makanannya hingga tidak tersisa.
“Si Dahlia belagu banget, sih,” ucap Nanda.

“Iya, tuh. Mentang-mentang anak orang kaya. Katanya, sih,” tutur Ririn sambil membenarkan hijab yang ia kenakan.

“Apa, sih, Instagramnya? Biar gue stalk.” Nanda mengeluarkan smartphone-nya.

“Kalau nggak salah, @dah_dahlia45.”

“Nah, ketemu.”

“Tuh, kan, apa gue bilang. Si Dahlia kagak kaya, orang cuma numpang hidup sama tante aja belagunya selangit.” Ririn menyerobot smartphone Nanda dan mengetikkan sesuatu di kolom komentar salah satu postingan akun Dahlia.

”Cuma titipan oy, Cuma numpang, nggak usah belagu.” Begitulah kira-kira hasil dari tarian jempol Ririn.
“Kok pakai akun gue, sih!” protes Nanda.

“Biarin, ah. Nanti lo bakalan lebih nyinyir daripada gue,” timpal Ririn.
Dan benar saja, kini giliran jempol Nanda yang mengetikkan berbagai rangkaian huruf di sana. Karena melakukan pada akun Dahlia saja dirasa kurang, mereka berdua lebih mengeksplor ke akun-akun lain, misalnya akun-akun artis terkenal.

“Kita dosa nggak, sih, kaya gini?” tanya Nanda tiba-tiba.

“Nggaklah,  kenapa dosa? Kita nggak ngapa-ngapain mereka.”

“Oh, oke.”

*****

“Rin,” panggil Nanda yang baru saja tiba di kelas.

“Apaan?”

“Kemarin gue diajakin bunda ke pengajian.”

“Terus?” Ririn menatap temannya ini bingung. Apa hubungan dirinya dengan pengajian?

“Em, di pengajian kemarin itu membahas tentang ‘Jempolmu Harimaumu’. Jadi, karena zaman sekarang adalah zamannya serba modern, siapa yang nggak kenal medsos? Semuanya pasti tau. Kata pak ustaz, sebagai netizen yang baik, gunakan pula medsos itu untuk kegiatan yang baik pula,” ucap Nanda panjang lebar sampai napasnya terengah.

Ririn hanya menatapnya serius. “Kok berhenti? Gue lagi serius, nih.”

“Napas dulu, Nyet!” Nanda menarik napas panjang. “Ya, pokoknya jangan buat medsos jadi wadah yang negatif, menjelekkan orang ataupun sampai memberikan ujaran kebencian. Karena bisa diperkarakan secara hukum. Nggak takut lo kalau sampai dipenjara gara-gara komentar di medsos?” lanjut Nanda.

“Ih, ya jelas takutlah.” Ririn langsung mengeluarkan smartphone-nya dan menghapus postingan atau komentarnya dari sosial media yang berpotensi menimbulkan reaksi negatif.

“Nah, terus yang jempolmu harimaumu—”

“Bukannya, mulutmu harimaumu?” sergah Ririn.

“Makanya dengerin dulu. Itu mah zaman dulu mulutmu harimaumu, kalau zaman milenial tuh jempolmu harimaumu. Coba, banyak kasus yang cuma gara-gara komentar netizen aja, sampai ada artis yang bunuh diri karena ngerasa di-bully, setidaknya mengganggu mereka atau kasus ujaran kebencian di story medsos, akhirnya dipenjara, deh. Jadi, sebagai netizen ayo buat medsos sebagai hal positif. Netizen juga harus beriman, dong.”

“Wah,” kagum Ririn. Gadis bertubuh agak gempal itu sampai bertepuk tangan karena ceramah Nanda.
“Biasalah, gue gitu, loh.” Nanda membanggakan diri.

“Ye, siapa yang aplouse buat lo? Gue merasa takjub sama ustaz yang nyampaikan materi. Sungguh generasi milenial,” ucap Ririn.

“Au, ah.” Nanda merajuk.

“Pokoknya, mulai sekarang ayo kita galakkan nitezen beriman. Gunakan jempolmu untuk berkomentar positif,” ucap Ririn dengan penuh semangat bagai mendeklarasikan kemerdekaan.

Teman-teman sekelas yang sudah datang menatap Nanda dengan tatapan tajam karena menganggu pagi dengan berteriak tidak jelas di dalam kelas. Namun, hanya dibalas cengiran khas oleh gadis itu.

TAMAT

(not) PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang