2

9 4 0
                                    

"Hypnoteraphy aja."

"Monyet, balek lagi aja ke hutan sana."

"Nak! Mulutmu itu loh." Mama menunjuk sang bungsu dengan pisau di tangannya tanpa sadar.

"Sayang! Masa nunjuk anak pake pisau sih." Papa melotot marah pada istrinya yang sedang mengupas apel. Kemudian kembali fokus pada laptop di sofa.

"Abis, Kak Guanlin juga ngomongnya ngaco gitu. Bau alkohol tuh, Pa! Iwh." Yang baru dimarahi mengibaskan tangan berinfus di depan hidung, berpura-pura mencium bau tidak mengenakan dari napas Guanlin, sang kakak.

"Elo juga begonya kebangetan, Dar. Hypno aja biar kebiasaan lo minggat tuh dari otak." Guanlin mengambil garpu dan menusuk sepotong apel. Tiba-tiba menyodorkannya ke depan mulut Darae. "Aaaa~"

Darae mengikuti. Tumben dia tidak marah karena potongan apel yang terlampau kecil. Kayak mau memberi makan burung, katanya.

"Guanlin, jaga omongan kamu. Nanti kalo adek kamu ikut-ikutan gimana?" Papa kembali bersuara, tanpa berniat menoleh dari laptopnya. "Darae juga. Papa marah kalo kalian masih kayak gini lagi, ngerti?"

Darae dan Guanlin mengiyakan. Memang sih, mereka terlampau sarkas kalau berbicara. Darae jadi sering berkata kasar dan kurang sopan karena Guanlin yang tidak pernah mau menjawab sesuai pertanyaan. Belum lagi kerjaannya cuma main-main, motoran, atau keliling pakai mobil ngabisin bensin. Sering menyuri uang Darae dengan dalih 'bensin abis' atau 'bayar utang ke Papa'. Kadang-kadang, Guanlin pulang tidak hanya bawa motor rongsokan, tapi juga luka babak belur serta baju yang koyak sana-sini.

Guanlin menambah penderitaan Darae setiap harinya.

Guanlin pun bisa menjadi kakak yang baik dan manis. Dia adalah kakak yang maju paling awal kalau terjadi sesuatu. Meski kepanikannya sering tidak berguna, tapi Darae senang Guanlin-lah yang menjadi kakaknya.

"Ini apelnya. Udah ya, Papa Mama berangkat, Kakak jagain Adek-nya. Jangan makan sembarangan, jangan banyak ngomong, nanti lidahnya sobek lagi." Mama mencium kepala Guanlin dan kening Darae. "Kesayangan Mama jangan sampe sakit, ya?"

Mama menghampiri Papa yang sedang memasukan laptop ke tas, mengambil alih dan kembali memeriksa perlengkapan di koper dekat sofa.

"Papa dapet kabar dari Ibu Wakil Kepala Sekolah kalo perwakilan mereka dateng nggak lama lagi." Papa mengeluarkan uang merah lima lembar dari dompet. "Pegang ya, Dar. Atur sesuai kebutuhan, biar Guanlin nggak boros."

Setelah itu, Papa dan Mama pergi. Urusan pekerjaan Papa, katanya.

Alhasil Guanlin bisa santai. Dia mengeluarkan PlayStation dari laci lemari Darae, asik bermain sementara Darae terlelap.

Sudah seminggu lebih Darae tidak bisa tidur di rumah sakit. Akibat operasi dan ngilu di lidahnya membuat saraf mata serta kelopaknya terus menegang.

Tiga jam menemani Darae yang sakit di kamar rupanya membuat Guanlin bosan juga. Dia menelpon temannya, mengajak bermain bersama. Yah, menurutnya bermain berdua lebih baik dari pada sendiri.

Dua puluh menit waktu yang dibutuhkan Guanlin untuk menunggu. Dia pergi keluar kamar Darae bersama console game-nya.

"Wei, Sat. Lama bener. Rumah lima langkah doang juga."

"Iya, ini nih adek sepupu gue lagi rempong. Abis dari luar terus gue nebeng dia ya jadi harus keliling sana-sini dulu."

"Siapa?" Guanlin mengeluarkan seloyang kue dari kulkas dan kembali ke ruang keluarga.

"Kang Daniel." Teman Guanlin itu lantas duduk, langsung memakan kue yang disajikan.

"Nggak mirip sama elo bang."

"Yaiyalah, Kak Seungwoo nyalon mulu." Daniel menyahut dari dapur. Dia kembali dengan segelas air di tangannya.

"Gue jepit itu bibir abis itu gue potong lidahnya, kalo elo ngomong gitu lagi." Seungwoo melempar satu suap kue. "Biar aja sobek kayak dulu pas masih jadi bakso unyu-unyu."

"Lah, anjir. Adek gue!" Ingat Darae di kamar yang melewati jam minum obat, Guanlin berlari menuju kamar tamu; Darae tidur di sini untuk mempermudah aktivitasnya.

Akhir-akhir ini, kata 'sobek' sangat sensitif sekali di telinga Guanlin. Dia bahkan menjerit tidak karuan saat melihat roti sobek di supermarket bersama Mama tiga hari lalu. Bukan hanya itu, Guanlin sama sekali tidak berani membuka bungkusan dalam bentuk apa pun. Ia rela semua snack-nya terkapar begitu saja di lemari, kecuali kalau Mama membuka bungkusan itu, Guanlin akan terus terang menjadi seseorang yang membutuhkan snack dalam jumlah besar.

Rumah itu seakan-akan sedang dalam masa renovasi. Terdengar tidak? Suara ribut-ribut, kekacauan serta teriakan histeris Guanlin yang sangat-tidak-berguna menggema ke seluruh ruang waktuㅡkatakan ini berlebihan, tapi kalau kalian mau tahu Guanlin adalah satu dari beberapa hal yang biasa digosipkan ibu-ibu kompleks karena ulahnya ini. Anak kuliahan macam bocah itu sama paniknya ketika melihat kecoak saat punggung tangannya mendarat di kening Darae.

Panas!

"Eh, buset."

Seungwoo menatap sumber suara. Pertama kali melihat Daniel berwajah keledai ternyata cukup menghibur dirinya yang baru saja dikatai-katai. "Muka elo biasa aja, pertama kali liat cewek cakep, hah?"

Guanlin yang barusan pergi sepertinya masih menangis bombay dengan telepon di telingaㅡas always. Sementara Seungwoo dan Daniel yang habis melihat Darae dari dekat berdiri di depan pintu kamar mengharap cemas kalau Guanlin mau menggunakan otaknya untuk sekarang.

Jadilah Seungwoo dan Daniel memaki Guanlin habis-habisan. Mengatai serta mengolok, mengancam kalau adiknya lebih baik diangkat masuk ke keluarga sahabatnya. Guanlin semakin panik, kemudian menangis cukup kencang. Dia menghampiri Darae yang wajahnya mulai memerah.

Daniel? Ya, kakinya sudah gatal mau minggat.

"BUAHAHAHAHAHAHAHAHAHHAAHAHAHAHAHHAHHAAHHAHAHAAHAHHAAHAHA."

"Whatㅡ?!" Seungwoo terkejut hampir terjungkal. Tanpa segala macam jenis pengeras suara digunakan, suara itu sudah melengking fantastis. Pantas Guanlin memanggilnya 'quntie' di setiap hang out. Awalnya Seungwoo percaya-percaya saja kalau julukan itu singkatan dari Queen Sweetie, sekarang dia justru ingin memaki sendiri karena merasa dirinya bocah yang gampang diculik.

"Oh, come on. You ignoring me, lemme have fun for once, Peanut?" Darae tertawa renyah.

Guanlin melempar handphone pada adiknya hingga tersentak. "Gila! Mau mati lo?!"

"Bang." Daniel menepuk pundak Guanlin. "Kasian. Biarin aja."

"Ngapain lo di sini?"

Suasana menjadi keruh seketika. Semuanya canggung. Darae kembali seperti dulu. Dengan malas serta ogah-ogahan, dia mengeluarkan termos dari dalam selimut, melepas infus, terduduk dengan wajah masam.

Guanlin cukup terkejut. Darae, adiknya tidak pernahㅡlagiㅡbersikap dingin. Seburuk apapun seseorang, Darae memilih diam. Tidak menyambut ataupun tidak mencari ribut. Berusaha bersikap sopan meskipun enggan.

"Sorry. Sekolah minta gue buat urusin camping angkatan baru. Gue belum dikasih alamat sama Pak Sukanㅡmaksudnya Pak Wakil, jadi gue nggak tau ini rumah elo." Daniel mengeluarkan sepucuk surat dari saku jaketnya. "Dari Irene."

Darae terdiam sejenak. Ragu benar tidaknya kejelasan asal-usul surat di tangannya.

"Jangan geer, gue nggak nyari alamat elo buat jenguk, atau pura-pura nulis itu pake nama Irene." Daniel berbalik.

Pergi, dengan kata dan pesan, tanpa pamit.

***

Fe [Kang Daniel]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang