11. Kode

289 9 0
                                    


Bagaimanapun kamu juga pernah singgah. Dan aku juga paham bahwa kelak kamu akan melangkah. Karena diriku pun tak punya hak untuk mencegah.

***
Magenta setiap malam tak bisa tertidur. Ada saja yang ia pikirkan. Sekar sekarang sepertinya menjauh. Mungkin ia marah karena Magenta abaikan. Magenta juga marah pada dirinya sendiri. Tidak bisa mempertahankan apa yang seharusnya di pertahankan.

"Gimana? Dia baik-baik aja kan?."

Lula duduk sambil menyemil makanannya di ruang keluarga. Melihat kartun kesukaannya. "Kak Novel udah siuman. Dia juga agak mendingan. Kenapa emangnya?." Lula menengok kesamping sambil memasukkan kembali makanannya ke dalam mulut.

"Menurut lo gue itu keterlaluan gak sih?." Gadis itu mendatarkan wajahnya. "Ya jelaslah. Ada ya, cewek yang mau ditinggal karena alasan pengen balikan sama mantan. Padahal hubungannya masih baik-baik aja. Kalo gue jadi kak Novel sih ogah sama elo. Mending sama kak Erlan. Udah baik, perhatian lagi."

Nah kan, Lula mulai kurang ajar. Magenta hanya bisa menghembuskan nafas kasar. Dirinya setuju antara tak setuju dengan perkataan Lula. Apalagi adiknya itu mulai menyangkut pautkan Erlan. Si anak bahasa itu. Bisa apa emangnya dibanding dirinya? Lagi-lagi Magenta juga kalah telak.

***

"Bun, Novel boleh minta tolong ambilin buku yang dikasih Mona ke Novel beberapa hari yang lalu?."

Bunda menoleh ke arahnya saat bunda sedang memasukkan pakaian kotor Novel ke dalam tas. Bunda renacananya akan pulang dan mencuci pakaian itu. "Oh, buku yang waktu itu. Ya, nanti coba bunda cari. Bunda pulang dulu ya."

Tak lama, ruangan pun kembali hening sekembalinya bunda ke rumah. Hanya kilasan-kilasan masa lalunya dengan Magenta yang melintas. Tak ada niatan untuk membenci Magenta. Tak ada untungnya juga ia membenci sang mantan. Sebab, semua sudah berakhir. Ini juga sudah menjadi keputusannya.

"Apa ada sesuatu?. Dibalik semuanya." Novel menggumam ke pada diri sendiri. Bayangan dimana ayahnya kecelakaanlah yang terlintas di lamunannya. "Kenapa itu?."

Alis Novel mengkerut menunjukkan ketidaksukaan yang kentara.

Akhirnya sebuah ketukan menghentikkan lamunannya. Kepala seseorang menyebul di balik pintu. "Boleh gue masuk?." Pemuda itu berjalan tanpa mendengar persetujuan. Menenteng sebuah kresek hitam yang tidak di ketahui Novel apa isinya.

"Apaan tuh?."

Guntur menatap kresek bawaannya. "Oh, buat lo. Tadi titipan dari mama gue." Kebohongan yang kesekian kalinya bagi Guntur. Ia tak terlalu suka. Ia juga benci. Tapi, ini juga demia kebahagiaan bersama. Saat mata Novel memicing curiga dan penasaran, langsung direnggutlah kresek itu. "Wah, asik nih. Makan banyak."

Ya, di dalam kresek itu terdapat brownis cokelat serta snack ringan dan novel baru yang bisa ia baca saat suntuk. "Ini emang beneran buat gue?." Mata Novel berbinar. Dan Guntur ikut senang. "Iya, itu buat lo."

Dan lagi-lagi Novel lupa bahwa sebenarnya Guntur adalah adik kelas yang seharusnya memanggil dirinya dengan embel-embel 'kak'. Tapi, Novel juga tidak terlalu peduli. Yang ia pedulikan sekarang adalah menghabiskan ini semua sampai tidak ada yang tersisa.

Novel mencicipi brownis lalu matanya berbinar berlebihan. "Enak banget. Betah gue kalo sakit kayak gini." Mereka berdua pun tertawa atas pernyataan Novel barusan. Guntur hanya memandang takjub sang kakak tiri.

"Kenapa? Mau? Dari tadi liatin mulu."

Perkataan Novel barusan menyadarkan Guntur dari lamunan. "Boleh, suapin." Novel mengerutkan alisnya. Kenapa nih bocah? Sawan?.

Guntur yang menyadari perilakunya yang konyol hanya menyengir lebar lalu menggaruk tengkuknya yang jelas tak gatal. "Hehehe, sorry. Kebiasaan sama mama gue di suapin kalo makan brownis."

Padahal, dia tidak pernah merasakan. Guntur tersenyum miris atas perkataannya sendiri. Lantas satu suapan hinggap di mulutnya. Tangan terjulur itu tersenyum. "Tuh makan. Gimana enak? Apalagi yang nyuapin gue."

Guntur mengunyahnya pelan. Meresapi rasa serta perasaan gadis itu tamat-tamat. Ah, kenapa kakaknya itu tampak polos jika seperti ini? Lihat saja Magenta akan mati di tangannya sebentar lagi. Guntur berseringai dalam hati. Tak ingin membuat tanda tanya lebih banyak ke kakaknya.

Pagi berganti sore. Membuat Guntur harus pergi karena sang bunda sudah kembali.

Bunda masuk menenteng tas. Novel juga tidak tahu apa itu isinya. Tapi, Novel harap ada sesuatu yang ia inginkan. "Bun." Bunda memandang anaknya itu. Mengkerutkan alis sambil tersenyum. "Ini." Memberikan sebuah buku note ke arah Novel. Gadis itu menerimanya gembira.

Ini sudah seminggu semenjak kejadian itu. Dan tentunya Novel tidak tahu siapa yang membawanya ke rumah sakit. Tapi, entah kenapa terbesit rindu sedikit terhadap errr,,, Erlan. Mungkin Novel sudah biasa dengan kehadiran dan candaannya akhir-akhir ini. Tapi, entah mengapa juga pemuda itu tiba-tiba menghilang tanpa ada jejak, kembali.

Novel melirik bundanya yang tampak lelah sedang menutup matanya di sofa. Novel tak tega. Ia turun memberikan selimutnya kepada sang bunda yang tertidur pulas. Novel juga tidak sadar ketika ia melamun bundanya sudah tertidur lelap. Mungkin ia terlalu asik dengan dunianya sendiri.

"Maafin Novel ya, bun." Novel mencium kening sang bunda. Walau bagi sebagian orang itu tak sopan. Hanya ini yang bisa ia tunjukan sebagai rasa kasih sayang.

Gadis itu berjalan kembali ke tempatnya. Menyandarkan tubuhnya. Mengambil note yang sempat terabaikan tadi.

Novelia Larasati

Judul buku itu agak lebay menurut Novel. Tapi, entahlah kenapa Mona agak melankolis kali ini? Pikir Novel.

Tak ada yang menarik di buku itu. Hanya tertera nomor acak dan huruf yang di tulis tak jelas. Mona sepertinya harus ia periksakan? Kenapa kapasitas otaknya juga mulai menurun? Novel menyesali saat membuka buku itu.

Tapi, saat tangannya beranjak ingin menutup. Sekilas di matanya ada suatu kata terdapat disana.

Kode?

Novel tak terlalu pintar mengenai kode. Tapi, memangnya Mona bisa seperti ini? Maksudnya, kenapa harus kode? Kenapa bukan tulisan yang mudah di tebak isinya.

Ini angka dan huruf acak. Bayangkan.

Novel mendesah lelah. Saat ia ingin mengambil sebuah air di nakas tiba-tiba ponselnya menyala dan bergetar. Pesan? Malam-malam seperti ini? Siapa?. Novel mengerutkan alisnya dalam-dalam.

Namun, sedetik kemudian rambutnya rontok. Ada beberapa mungkin. Novel juga tidak terlalu memikirkan karena memang ini sudah seharusnya. Dia paham apa yang dia alami. Jadi, dia hanya bisa memaklumi.

Ponsel itu terus menyala dan bergetar. Ada nomer tertera disana.

738. Itu seperti tak asing bagi Novel tapi dia pernah melihatnya dimana?.

Tertera sangat jelas bahwa dipesan itu kebanyakan pesan kosong dan pesan terekhir dari nomor asing itu yang membuat Novel kaget.

Malam:)

Satu pesan. Yang membuat Novel tertidur dengan segala teka-tekinya.

***

[A/n]: Gimana sih ini? Gak paham juga gue. Hehehe....

Ribet sih sebenarnya. Tapi, mau gimana lagi pun aku juga lagi mikir. Ini kenapa sih?:(((

Gak tahu lagi mau ngetik apa:"

Thanks:))

My Lovely Girl [SEQUEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang