Kazuma sedang berbicara melalui teleponnya. Suara bernada khawatir membuatnya mau tidak mau jadi ikut berempati. “Saya akan ke sana,” ucapnya kemudian.
“Kau mau kemana, hey?!”
“Aku segera kembali,” jawabnya ketika ditanya perihal tujuannya. Ia memacu kuda besinya dengan kecepatan tinggi. Tujuan pertama Kazuma adalah minimarket. Matanya menyapu deretan menu makanan tetapi tidak ada yang sesuai. “Ck, orang sakit mana yang masih mau makan gyoza?” keluh pemuda yang dibalut kemeja hitam dan coat sewarna itu. Kalaupun ada itu pasti Kamiya Kenta.
Ia memutuskan untuk memasak sendiri saja, walaupun ia tahu kemampuan memasaknya tidak sebaik Hokuto tapi toh masakannya belum pernah meracuni siapapun. Mungkin kari sedikit cocok untuk orang sakit, pikir Kazuma. Bahan-bahan memasak ia pilih dengan cepat, tidak lupa ia membayar belanjaannya. Ya memang, menjadi yakuza bukan berarti kau bisa mendapatkan apapun dengan memalak atau mengancam orang lain kan?
Tujuan akhirnya adalah apartemen mewah keluarga Tosaka, bel ia bunyikan tapi tidak kunjung ada balasan. Siapapun juga pasti akan waspada kalau pukul 8 malam ada yang membunyikan bel rumah. “Rin, ini Kazuma.” Masih belum ada balasan. Kazuma mengirimkan pesan pada gadis itu, tidak lama barulah yang bersangkutan keluar untuk membukakan pintu.
“Apa?” tanya gadis itu singkat. Entah masih marah atas kejadian tempo hari atau energinya yang tidak prima karena sakit.
“Boleh aku masuk?”
“Mau apa? Meniduriku?” tuduh Rin, ia masih marah adalah kesimpulan yang didapat Kazuma. “Aku bisa menelepon Omi sekarang juga.”
Kazuma mencoba yang terbaik untuk menjaga emosinya. “Ibumu pulang larut hari ini dan beliau menyuruhku memastikan keadaanmu. Kau sedang sakit ‘kan?” Tidak usah bertanya pun Kazuma tahu gadis itu sedang sakit. Ia menyibak poni Rin dan menempelkan telapak tangannya. “Demammu tinggi,” komentar Kazuma. “Kau sudah minum obat?”
"Aku belum makan apapun," jawab Rin tak acuh, ia belum memberikan akses pada Kazuma untuk masuk.
"Aku tidak punya banyak waktu Rin, kau biarkan aku masuk lalu membuatkanmu makan malam atau kau terima ini dan memasaknya sendiri?" Rin masih bungkam. "Rin, aku benar-benar minta maaf."
"Kau tidak berniat meniduriku beneran 'kan?" tanya Rin ragu-ragu.
Kazuma menepuk dahinya. "Astaga, tentu saja tidak! Aku masih belum mau digantung terbalik oleh Omi-san." Rin terkikik senang dan mempersilahkan Kazuma masuk.
"Apa yang akan kamu buat?" tanya Rin penasaran saat Kazuma membongkar belanjaannya. "Sup miso? Kari? Kau beli apel juga? Untukku?"
Kazuma mendorong dengan pelan punggung gadis itu menjauh dari dapur dan mendudukkannya di sofa. "Tunggu saja di sini, aku tidak akan lama."
Rin memandangi Kazuma yang sedang berkutat di dapurnya. Setelah mencuci tangan, dengan cekatan pemuda yang sangat Rin kagumi itu memotong-motong bahan. Sesekali ia mengecek resep di ponselnya dan bergumam sendiri. "Bagaimana kalau kau tidak usah memandangiku begitu?" protes Kazuma, kali ini ia sedang kebingungan dengan langkah selanjutnya.
"Kamu lucu," balas Rin, memang benar setiap perubahan ekspresi Kazuma sangat lucu. Ada kalanya ia menggembungkan pipinya, cemberut atau bahkan mengumpat. Semuanya sangat sayang untuk dilewatkan.
Aroma wangi kari menyeruak masuk ke indra penciuman Rin, menggugah nafsu makannya yang hilang sejak dua hari terakhir. Kazuma menghidangkan sepiring nasi kari dengan katsu, ia juga memotongkan apel dan menyeduh chamomile tea untuk Rin.
"A-aku lupa kamu itu yakuza," ucap Rin takjub, ia terperangah dengan apa yang dilakukan Kazuma.
Kazuma menampakkan tawa kecilnya. "Apa-apaan itu?"
Rin mencoba masakan Kazuma, penampilannya tidak terlalu menarik dan juga ia lebih percaya untuk memakan masakan Hokuto. "Enak, tapi lebih enak lagi kalau kamu suapi." Kazuma hanya menanggapi dengan tatapan datar. "Tapi aku tidak berbohong kalau ini enak."
Kazuma tersenyum lega. Ia kembali ke dapur untuk membereskan sedikit kekacauan yang dibuatnya. Ia sendiri tidak menyangka akan melakukan hal ini untuk seorang anak gadis. Okay, ia tidak akan melakukannya kalau bukan permintaan nyonya Tosaka. Bahaya kalau sampai lapor Omi-san, batin Kazuma.
Kazuma mendudukkan dirinya di samping Rin. Gadis itu sudah menyelesaikan makan malamnya. "Kenapa bisa sakit?"
"Kamu pikir siapa yang membuatku kehujanan, huh?" Rin balas bertanya.
"Gara-gara aku ya?"
Rin mengangguk beberapa kali. "Memang apa yang kamu lakukan kemarin?"
"Ngomong-ngomong, aku harus pergi sekarang, Rin. Jaga dirimu baik-baik dan cepat sembuh."
"Temani aku sebentar saja," pinta Rin, gadis itu menyandarkan tubuhnya pada Kazuma, menahan Kazuma agar tidak beranjak dari sofa. "Kumohon."
Kazuma mengalah. Ia tahu kalau dibalik Rin yang periang, Rin juga merasakan kesepian. "Tidurlah." Kazuma membiarkan Rin membaringkan kepala di pahanya. Telapak tangannya membelai lembut surai gelap cucu tunggal Tosaka Satomi itu.
"Kazuma-kun," panggil Rin pelan, kelopak matanya setengah terpejam. "Apakah kalau aku masih tetap anak kecil kamu tidak akan membenciku?"
"Aku tidak membencimu," kilah Kazuma. Ia hanya tidak suka dengan sifat manja khas anak gadis yang selalu ingin diperlakukan bak seorang putri.
"Kamu membenciku karena aku mencintaimu 'kan?" Kazuma tidak memberikan jawaban. "Kamu berbeda kalau aku tidak menunjukkan cintaku padamu."
"Kazuma-kun jadi lembut dan perhatian, kamu bahkan tersenyum padaku. Tidak seperti hari-hari kemarin kamu membentakku."
Rin menangkap jemari Kazuma yang sedang menyusuri helaian panjangnya dan mengenggamnya erat. "Ayah di Amerika sedangkan ibu sering pulang larut dan berangkat pagi-pagi sekali. Aku seperti kehilangan mereka." Kazuma tahu, bahkan gadis yang populer di sekolahnya itu tidak mempunyai banyak teman setelah mengenal betul nama keluarga Tosaka tersemat padanya.
"Aku tidak mau kehilangan orang yang aku sayangi. Aku tidak mau kehilanganmu."
Kazuma terkesiap, tidak ada kalimat apapun yang ia ucapkan. Terpikirkan suatu tanggapan saja tidak. Ia benar-benar membiarkan waktu berjalan dan keheningan menyelimuti dua anak Adam dan Hawa itu.
Ia melirik Rin yang terpejam, sedikit lagi gadis itu pasti akan sepenuhnya terlelap. Cukup bangga dengan prediksinya, dengkuran halus terdengar begitu tenang. "Aku tidak bisa kemana-mana kalau begini." Tangannya yang bebas ia selipkan ke belakang tengkuk Rin, sementara tangan yang satunya ia lepaskan dari genggaman gadis 6 tahun lebih muda darinya itu. Kazuma merangkul pundak dan bagian belakang lutut Rin lalu membopong tubuh mungil itu ke kamar tidurnya.
Sesampainya di kamar tidur ia membaringkan tubuh Rin dan menyelimutinya. Tidak lupa ia menyesuaikan suhu ruangan. Ia menghentikan gerakannya, ketika menyadari detail wajah Rin di tengah lampu temaram. Alis tipis dengan bulu mata yang panjang, hidung mancung dan bibirnya yang sedikit terbuka.
"Kazuma-kun," gumam Rin pelan. Matanya tetap terpejam. "Terima kasih."
Kazuma mengusap pelan kepala Rin sambil mengulas senyum tipisnya. Sedetik kemudian, pemuda itu panik sendiri dan melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Sial! Hampir dua jam ia di sini. "Semoga tidak terjadi apa-apa."
---
unedited hehe
btw hehe kenapa aku menulis part begini yak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Side [The Rampage from Exile Tribe/AU]
Fiksi PenggemarJika pembunuhan itu dilakukan oleh yakuza, tapi mengapa polisi menutup kasusnya? [an alternate universe x the rampage from exile tribe] amazing cover by @slutherin_