Dua Puluh Tujuh Rajab

689 55 31
                                    

Dua Puluh Tujuh Rajab
Penulis: Icha_rizfia

Menjadi anak semata wayang, memang susah-susah gampang. Diperhatikan berlebih, namun juga merasa sepi. Hal tersebut yang selalu kulihat pada Rana.

Hidup tanpa seorang ibu, menjadikannya putri yang berharga. Dituruti segala kemauannya. Harta tiada guna bagi Erik, ayahnya, jika itu soal putrinya. Lebih baik ia bekerja siang malam, hanya agar melihat permata hatinya bisa menikmati semua harta hasil keringat tanpa kekurangan.

Sayang, kebebasan dan limpahan materi membuat Rana tumbuh menjadi pribadi yang tak terkendali. Pun, ia lupa padaku. Meski berkali kuingin menasehatinya, semua itu sirna kala keberadaanku saja tak ia anggap.

"Ya, Beb, aku udah sampek rumah."

Rana melempar tubuh akibat pusing yang melanda. Bau alkohol memenuhi ruangan bernuansa putih dan merah muda. Kesan feminim yang kental. Ponsel masih menempel di telinga, meski kesadaran di ujung purnama.

Adalah Tio, sang kekasih yang menelepon dari seberang. Hampir tiap hari kulihat Rana sering menghabiskan malam bersama Tio. Entah apa yang mereka lakukan di luar sana, aku tak tahu. Tak jarang kulihat Tio beberapa kali masuk kamar Rana, saat Tio tak berada di rumah. Syukurlah, keduanya tak sampai berbuat terlampau jauh. Mbok Min selalu datang bak Malaikat Atid yang hendak mencatat keburukan.

"Aku tutup, Beb. Besok lagi ya. Bye."

Matanya memejam, tanda kesadaran mulai hilang. Ia terlelap. Lagi, aku tak bisa berbuat apa-apa. Hanya Mbok Min yang kini melepas baju Rana, membersihkan riasan, memastikan anak majikannya tidur nyaman. Tak lupa mematikan lampu kamar dan bergegas ke dapur. Beberapa jam lagi sudah azan. Wanita yang sudah bekerja sejak dua puluh lima tahun silam itu sudah pasti akan sibuk dengan pekerjaannya.

***

Mbok Min berkeluh kesah padaku perihal Rana yang semakin hari malah semakin tak terkendali. Kesibukan Erik yang seringkali bertandang ke luar kota dan sibuk di perusahaan yang bergerak dalam bidang industri pangan, membuat sang putri tidak selalu dalam pengawasan. Sambil membersihkan kamar, Mbok Min mengajakku bercerita. Tentang Rana, pekerjaannya, bahkan soal Bu Suwi, mama Rana yang meninggal saat gadis itu berusia sepuluh tahun.

"Mbak Rana gimana yo, Dah. Makin hari aku kok makin kasihan. Kesepian ditinggal Pak Erik, makanya main sama temen-temannya sampek malem. Kamu juga dilupakan to, padahal Ibu dulu kenalin kamu sama Mbak Rana biar kalian akrab. Nyatanya, kalian malah jauhan."

Seperti itu kehidupan yang Rana jalani. Terlihat mewah dengan limpahan harta. Teman-temannya tak jarang yang merasa iri. Tiap kali kulihat teman-teman Rana yang datang ke rumah, pembahasan tak lebih sekadar harga baju, tas, make up, laki-laki, dan pujian palsu akan kehidupan mewah Rana.

Mbok Min segera meninggalkanku begitu sebuah suara memanggil namanya. Suara itu berasal dari tempat tidur Rana yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempat kami. Gegas Mbok Min menghampiri sambil tak lupa lirih ia pamit padaku yang memperhatikan wanita kepala enam itu masih lincah.

"Ya, Mbak? Sudah bangun? Mau diambilkan apa?"

Rana memegangi kepalanya yang masih merasa berputar-putar. Efek chardonnay semalam masih ia rasakan di pagi menjelang siang ini. Bahkan bau minuman itu terasa familiar di kamar ini beberapa kali kala pesta dengan teman-temannya dibuat. Bahkan diam-diam ada beberapa jenis minuman di kolong tempat tidurnya.

"Papa udah pulang?"

Menunduk prihatin, Mbok Min hanya menggeleng. "Belum, Mbak. Masih ke Palembang."

Jurusan Religi Islami The WWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang