Dean

421 44 21
                                    

Dean
Penulis: bawelia-

Mereka bilang, "Jadilah berbeda!". Namun, ketika aku menjadi berbeda mereka mengucilkanku. Menatapku dengan sorot merendahkan. Seolah apa yang kupilih adalah hal yang salah, padahal kuyakini ini adalah benar.

Ketika semua orang melarang keras bahkan meneriakkan lantang-lantang jika manusia sebangsa kami tak seharusnya ada. Aku maju paling depan untuk menyuarakan hak kami yang seolah dikekang oleh kalangan mayoritas.

"De, kamu nggak bisa terus berlari dari ketetapan Allah. Buka mata kamu!" Sudah berpuluh kali aku mendengar kalimat sama yang dilontarkan gadis bermata lebar ini. Bibirnya mungil, ranum seolah sudah matang dari pohonnya. Namun, kata-katanya pedas. Amat pedas mengalahkan pedasnya bon cabe level 30.

Kenapa semua orang harus mengatakan hal yang sama? Hanya karena aku suka bersolek, menghabiskan waktu di mall mencari barang-barang lucu, juga berpakaian layaknya perempuan biasa. Apakah itu salah?

"No, baby. Aku ngerasa ini udah aku banget. No, kamu nggak perlu mengurusi kehidupanku."

Reisha menegakkan punggungnya yang tadi bersandar di sofa ruang tamu. Matanya disipitkan, seolah sedang mengintimidasi. Ah, setelah ini rasanya aku tahu apa yang akan ia katakan.

"Allah nggak suka laki-laki yang menyerupai perempuan, De!" serunya sambil melipat tangan di dada.

"Trus gimana cewek yang menyerupai laki-laki? Baby, kamu harus tau ya. Meski perempuan itu berhijab tapi kalau gaya berpakaiannya menyerupai laki-laki, itu sama saja seperti laki-laki yang menyerupai perempuan, right?"

Reisha mengerjapkan mata beberapa kali. Kurasa dia mengerti apa yang baru saja kukatakan. Reisha menasehatiku agar tak berpenampilan serupa perempuan. Tapi lihat dirinya. Gaya berpakaiannya terlihat seperti laki-laki, dengan celana kargo abu-abu dan kaos bergambar tengkorak hitam.

Harusnya Reisha bisa menilai dirinya sendiri lebih dulu, baru mengomentari atau menasehatiku jika dirinya sudah benar! Tapi, ini? Dia saja tak berpenampilan layaknya perempuan kecuali kerudung yang menutup hingga dada.

Apa iya aku harus menuruti orang yang sadar diri saja tidak? No, no, no.

"De, ini penampilanku kalau lagi di rumah. Kamu tau sendiri 'kan?"

"Loh, sama dong, Baby. Ini juga penampilanku waktu di rumah. Apa aku salah sekarang?"

Terus saja mengelak, Sha. Pada akhirnya kamu akan sadar kalau kita ini sama saja!

"Kamu kok ngebalikin ke aku sih, De? Lagi pula kamu nggak gini aja di rumah! Di luar pun kamu juga selalu dandan trus make baju begini! De, sadar! Tobat sebelum Allah benar-benar marah sama kamu."

Tuhan lagi, Tuhan lagi. Begitu cara kamu membalas kalimatku? Begitu caranya mengelak dari kenyataan? Yang sedang berlari dari ketetapan Tuhan itu, kamu atau aku sih sebenarnya?

Kenapa pula Tuhan harus membenci manusia sebangsaku? Kami hanya mencoba menjadi diri sendiri. Bukankah itu bagus? Apa Tuhan se-nggak berperasaan itu hingga semuanya diatur, sampai masalah hati pun? Ck, menyebalkan.

Gadis yang duduk di sampingku mengembuskan napas kasar. Mungkin dia sudah lelah menasehatiku.

Namaku Dean Allexe. Laki-laki, umur 17 tahun. Dari sekolah dasar hingga tingkat SMA aku selalu belajar di rumah. Tak pernah tahu bagaimana rasanya duduk di bangku kayu yang dijejer rapi menghadap ke arah papan tulis. Tak pernah menyicip bagaimana rasanya hidup bersosial layaknya remaja seumuran.

Ya, aku memang spesial namun Papa, Mama, Reisha juga masyarakat sekitar lebih sering mengatakan jika aku memiliki keanehan yang harus disembuhkan. Mungkin itu juga alasan orangtuaku memutuskan untuk tidak memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan mana pun dan lebih memilih untuk home schooling saja, daripada malu?

Jurusan Religi Islami The WWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang