Lelaki di Catatan Lauhul Mahfudz Wanda

182 14 3
                                    

Lelaki di Catatan Lauhul Mahfudz Wanda
Penulis: Fiikoo

"Masyaallah, kamu benar Raden Azrar Wardhana?" tanya Purwanto.

Pria berusia 29 tahun itu mengangguk dan tersenyum sopan.

"Masyaallah... dunia memang sempit, ya, Li?" Purwanto menoleh pada pria di sisi kanan Raden. Mereka berdua terkekeh.

Ayah Raden membenarkan. Ia sendiri tidak menyangka akan bertemu kembali dengan sahabat SD hingga SMP-nya di kota besar seperti Jakarta ini.

Sejauh apa pun mereka pergi menjadi khilafah Allah di bumi, ternyata garis hidup mereka masih saling bersinggungan. Hanya masalah waktu yang menunggu kapan itu terjadi. Dan untuk mereka berdua, inilah masa yang dijanjikan Allah.

"Ngomong-ngomong, Nak Ali bisa kenal sama Wanda di mana?" Purwanto membenarkan kacamatanya yang sedikit melorot. Ia mulai penasaran dengan pertemuan keduanya.

"Kami kembali bertemu saat ada acara bakti sosial di salah satu daerah terpencil di Banten, Om. Saya serta beberapa rekan melakukan pemeriksaan gratis dan Wanda sedang di sana juga. Kami mengobrol dan ya, sampai saat ini deh," tuturnya lugas.

Purwanto mengangguk mengerti. Ia ingat Wanda ikut kegiatan sosial komunitas majelis di sana tiga bulan lalu. Mereka membantu membangun sekolah dan MCK layak.

"Nak Ali mau ketemu Wanda?"

Laki-laki berambut lurus lebat itu menoleh dan melemparkan senyum penuh arti pada papanya. Kemudian, beralih pada Purwanto. "Ah! Bukan itu, Om. Kami kemari memang mau bertemu Om Wanto."

"Lho, ada apa ini to?" ujarnya. Logat Jawanya keluar. Ia sedikit memundurkan kepala karena sedikit terkejut.

Ali berdeham sambil melirik anak terakhirnya. Ia menyatukan ujung jemari dan menatap Purwanto serius. "Wanto, kami ke sini mau meminta izin. Anakku ini berniat meminang Wanda sebagai istrinya."

Purwanto sedikit melebarkan mata. Pertemuan pertama mereka yang tanpa rencana dan duga membuatnya terkejut, apalagi disertai penuturan barusan, semakin membuatnya terdiam.

Raden mencermati air muka Purwanto. Dalam hati ketar-ketir jika niat baiknya tidak diterima. Namun, sebuah senyum yang tergaris di bibir Purwanto membangkitkan harapan positif.

"Apa Wanda sudah tahu ini?"

Raden mengangguk. "Maaf kalau saya lancang, Om. Tiga hari lalu, saya mengatakan hal ini padanya. Wanda meminta saya untuk benar-benar mendatangi Om Wanto kalau memang serius," sahutnya sopan.

Ketegangan yang sempat dirasakan dokter itu perlahan sirna saat mencermati air muka Purwanto. Ia melihat sorot hangat dan batinnya berbisik ini akan berhasil.

"Kapan Nak Raden berencana melamarnya?"

Sejunput senyum terbit dengan cerah di wajah pria yang dulu menjadi senior Wanda ketika SMP. Ia membaca basmallah dalam hati, lalu berucap, "Insyaallah dua bulan lagi, Om."

"Apa tidak kelamaan?" Purwanto sedikit mengerutkan dahi.

Sebelum Raden sempat membuka suara, papanya lebih dulu menjawab, "Jadi, begini, Wan .... Raden masih ada tugas di daerah perbatasan Papua sebulan lagi dan kami butuh persiapan."

Purwanto mengangguk, mengerti. Ia membenarkan posisi duduknya. "Baiklah, aku mengerti. Menjadi dokter di kemiliteran memang berat, ya, Den?"

Pertanyaan tersebut mengundang kekehan mereka bertiga meski sebenarnya Raden sedikit canggung. Namun, itu berhasil membuat suasana semakin menghangat.

Jurusan Religi Islami The WWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang