Tiga. Alena Marshela

23 11 0
                                    

Alena, Alena Marshela. Gadis kurus berambut hitam pekat dengan latar belakang yang hampir sepenuhnya mirip dengan Alana.
Alana dan Alena, suatu kebetulan yang tak pernah diduga bukan?
Semua tentang garis tangan maupun takdir, dan semua hal tentang pertemuan yang melibatkan ketidaksengajaan.

Tentang Alena si penyuka Katun, Twiscone, Rayon, Spandek, Linel dan meja jahit warisan neneknya untuknya menciptakan sesuatu.
Juga tentang rumah pohon uniknya, dan tentang semua fakta yang menyatakan,
bahwa sebenarnya Ia begitu mencintai keluarganya.

"Iya ma, Alena udah check-in dari tadi siang. "

"Sudah makan?"

"Iyaa ma udah."

"Liburan akhir bulan InsyaAllah mama kesana, nanti mama akan coba bilang ke Ayahmu."

"Gausah ma, nggak perlu."

"Nggakpapa kok nak nanti mama usahakan pasti ayah mengerti."

"Alena udah besar mah, jauh jauh kesini karna Alen udah harus mikir soal sukses, nggak perlu ditengok tengokin kayak gitu."

"Memang itu alasannya atau memang kamu belum maafin ayahmu sampai sekarang?"

"Ma ayah nggak pernah minta maaf sama Alena, terus Alena harus maafin siapa?"

"Alena sudah berapa kali mama bilang, iya mama paham tapi.."

"Iya Alena tau mama paham, tapi disini Alena yang lebih paham soal semuanya, dan mama sendiri? mama bahkan nggak pernah paham apapun soal Alena."

"Alena dengerin mama nak."

"Alena memang selalu dengerin mama. Justru mama yang nggak pernah dengerin Alena."

Tuuuutt!

Panggilan itu diakhiri oleh Alena, Air matanya tak mampu terbendung lebih lama lagi, bayangan akan semua yang membuatnya jatuh sejatuh jatuhnya, kembali dan bersiap untuk menghantuinya. Ia benci segala hal tentang Ayahnya, seseorang yang menghancurkan hidupnya, seseorang yang membuatnya harus menghabiskan waktu untuk menyendiri di rumah pohon menanti masa depannya.

"Dasar anak nggak tau di untung!"
Bugh!!

"Kalo kamu nggak bisa nurut sama ayah, pergi kamu dari sini!"
"Pergi dari sini sekarang! Saya nggak sudi punya anak kayak kamu!!
"Pergi!!"

Ia menarik nafasnya, keringat dingin membasahi tengkuknya.
Alana tak mampu memunafikkan dirinya lebih lama lagi, Ia masih mengingat semuanya, Semuanya. Itu sebab mengapa Alana sangat membenci perkataan mamanya dimana Ia harus memaafkan lelaki itu

"Maafkan ayahmu demi mama Alana."

Hatinya panas, Ia merasa tidak adil, kenapa mama tetap bertahan atas apa yang sudah dilakukan ayah padanya. Ada apa dengan mama sebenarnya. Semuanya membuatnya begitu muak. Benar benar muak.

Dan semua kembali memasuki pikirannya. Termasuk cacian yang ia dapat kan. Semua kembali mengusik syaraf otaknya Ia merogoh lacinya dan mengeluarkan sebuah tabung berisi pil penenang, dan langsung menelannya.
"Semua kembali." Gumamnya.

"Jangan pegang rambutku!"

"Makanya! nggak usah sok sok an! sakit kan? Ayo del, tarik lagi sampai dia minta ampun!"

"Aww sakit! Berhenti! Kalian jahat! Nanti aku bilangin ke ayah!"

"Bilangin aja, dia nggak akan peduli! Dia kan nggak sayang sama kamu!"

"Ayahku sayang kok sama aku!"

"Masa? Buktinya kemarin, aku lihat kamu dipukulin sama ayahmu, papiku aja nggak pernah tuh mukul aku, dia selalu beliin aku mainan bagus, tas bagus, nggak kayak kamu!

Sugar HeavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang