BAD TYPE SIDE B: Chapter 3

1K 196 16
                                    

Harus banget baca BAD TYPE SIDE A Sekareare ya, Gengs! Follow Instagram: zeeyazeee, sekareare, badtype_project

Twitter: zeeyazee28, sekareare_

“Wah, siapa, nih, yang dateng?” Bagas, pria yang tidak kalah menawan dengan Lee Min Ho pada usia separuh abadnya, menyambut kehadiran Rachel dan Elodia—dari balik meja bar—dengan senyuman lebar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Wah, siapa, nih, yang dateng?” Bagas, pria yang tidak kalah menawan dengan Lee Min Ho pada usia separuh abadnya, menyambut kehadiran Rachel dan Elodia—dari balik meja bar—dengan senyuman lebar.

Rachel yang baru saja mendaratkan bokongnya ke kursi bar kafe—bersebelahan dengan Elodia—menunjukkan deretan gigi putihnya. “Apa kabar, Om? Kafe-nya makin rame, ya?” tanyanya, basa-basi, seraya mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kafe bergaya antik itu.

“Ya, gitu, deh. Sayangnya, dua pegawai kesayangan Om udah gak kerja di sini lagi.” Bagas mengedipkan sebelah mata ke arah Elodia.

Elodia menyengir kuda. “Ehe…. sori, Om.” Lalu, wajahnya tiba-tiba berubah menjadi raut kesal dengan cepat. “Lagian, Om, juga, sih…. Coba kalau waktu itu, Om, gak bocorin—”

“Bocorin lo demen sama gue?”

Wajah Elodia menjadi pasi. Bibirnya mengatup rapat hingga membentuk garis lurus, kedua matanya seakan nyaris melompat keluar, dan semua persendian tubuhnya menjadi kaku. Ia tidak berani menoleh ke arah si pemilik suara yang memotong kalimatnya, tapi seseorang itu memegangi dagunya, membuatnya mau tidak mau menoleh.

Edzard, si pemilik suara itu, menunjukkan senyum yang tampak manis sekaligus menyebalkan di waktu yang sama. Elodia sontak menepis tangan Edzard supaya melepaskan dagunya. “Ngapain lo di sini?”

Edzard bersandar ke meja bar, lalu memainkan jemarinya sendiri. “Apa salahnya gue dateng ke kafe milik bokap gue?”

Elodia melirik ke arah Bagas, yang berpura-pura sibuk membersihkan meja bar kafe. Di sisi lain, Rachel meninggalkan Elodia dan Edzard, pindah ke meja yang terletak di dekat pintu masuk.

“Gak ada yang nyalahin. Gue, kan, cuma nanya 'kenapa’.” Elodia beranjak dari kursi bar kafe, kemudian menyusul Rachel. Dipergoki membicarakan seseorang oleh orang yang sedang dibicarakan berhasil mencoreng harga diri Elodia. Malu sekali rasanya, sampai Elodia merasa ingin masuk ke lubang hitam yang teramat dalam, dan tidak akan pernah menampakkan diri lagi. Masalahnya, Elodia takut gelap. Jadi, satu-satunya cara menyelamatkan diri adalah balik nge-gas.

Di luar dugaan, Edzard justru mengekori Elodia, dan ikut duduk di meja yang sama dengan gadis itu dan Rachel.

“Lo ngapain?” Suara Elodia meninggi.

“Gangguin lo. Biar lo cepet pulang, terus gue bisa ke rumah lo buat lanjutin pelajaran kemaren,” jawab Edzard, dengan nada suaranya yang membuat Elodia ingin meninju laki-laki itu, tapi dia tak ada nyali.

“Gue baru aja nyampe di sini. Masa udah kudu pulang lagi?” tanya Elodia, sengit.

Edzard manggut-manggut. “Kalau gitu, belajar di sini aja kali, ya?”

Elodia melongo. Sejurus kemudian, ia menoleh ke arah Rachel, meminta dibela. Sayangnya, sahabatnya itu berpura-pura tidak peka.

***

“Yang bener dong ngitungnya! Masa 4x4 aja lo jawab delapan belas?” Edzard memberi pukulan ringan di dahi Elodia, dengan menggunakan pensil.

Elodia mengaduh sambil memegangi dahinya. “Aw……. sakit, Dodol!”

“Gue gak suka dodol.” Edzard sekali lagi hendak melakukan hal yang sama. Namun, Elodia lebih cepat merebut pensilnya, lalu membalas pukulan Edzard.

“Gue gak nanya,” ujar Elodia, tersenyum puas melihat Edzard mengusap-usap kepalanya. “Uwuuu… atit, ya?”

Edzard memilih tidak melanjutkan aksi ‘saling membalas dendam’. Setidaknya, bukan dengan cara yang sama.

Elodia merasakan radar 'keselamatan dirinya’ menerima sinyal-sinyal berbahaya dari Edzard. Laki-laki itu kini sedang membuka tasnya yang diletakkan di antara kaki mereka, dan lagi-lagi… anak semata wayang mantan bosnya itu berhasil membuat tekanan darah Elodia meninggi.

“Apa-apaan nih?” tanya Elodia, seraya tidak melepaskan pandangannya dari setumpuk kertas soal-soal yang diberikan Edzard.

“Soal yang harus lo kerjain,” jawab Edzard, sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dengan santai.

“Yang lo kasih kemaren aja belum kelar, Bambang.”

“Nama gue Edzard, bukan Bambang. Gue gak peduli soal yang kemaren gue kasih udah kelar atau belum. Yang gue tahu, besok, semua soal yang gue kasih harus udah lo jawab. Kecuali… lo mau gue telpon nyokap lo sekarang dan—”

“AH, IYA, IYA! Mainnya ngancem mulu, ah!” Elodia mengambil tumpukan kertas di hadapannya, lalu berjalan ke arah Rachel yang sedang duduk di kursi bar kafe sejak dua jam lalu. “Pulang,” kata Elodia.

“Lah? Emang udah kelar belajarnya?”

Alih-alih menjawab pertanyaan Rachel, Elodia justru berpamitan kepada Bagas. “Pulang, Om!” serunya, lalu berjalan cepat ke arah pintu.

“Nih, tasnya dia.”

Rachel menoleh, tersenyum segan kepada Edzard yang menghampirinya sambil membawa tas milik Elodia. “Thanks, Kak. Sori, ya… El memang gitu anaknya. Gampang emosian kalau lagi belajar.”

Edzard menunjuk ke sosok Elodia yang sudah menunggu di luar kafe, lalu terkekeh. “Tuh, muka dia makin nekuk. Susulin gih.”

Rachel melambaikan tangan kepada Bagas, lalu bergegar keluar menyusul Elodia.

“Papa perhatiin dari tadi, demen banget godain El. Katanya gak suka sama daun muda?” goda Bagas, mengoper sekaleng minuman soda dingin kepada Edzard.

“Siapa yang ngegodain? Jangan kayak tetangga rumah sebelah yang demen nambah-nambahin gitu, ah, Pa.” Edzard menarik kaitan tutup kalengnya, lalu meminum cairan di dalamnya dengan cepat.

“El cantik, loh….” Bagas masih ngeyel. Belum puas kalau anaknya belum kesal. Namun, Edzard sudah terlalu hafal dan terbiasa dengan tingkah papanya itu. Jadi, dia tidak akan mudah terpancing.

“Kalau dia ganteng, justru Ed yang heran, Pa. Udah, ah. Ed pulang duluan, Pa.” Edzard merogoh saku jaketnya, mencari sesuatu. Lalu, berpindah ke saku celana dan kemejanya karena dia tidak menemukan yang dia cari.

“Nyari apaan?” tanya Bagas.

“Kunci motor,” jawab Edzard. Teringat bahwa ia menaruh kunci motornya di atas meja yang digunakan untuk mengajari Elodia, Edzard pun melangkah ke meja yang sama.

Nihil. Kunci motornya tidak ada di atas meja.

Lalu, wajah Elodia yang tersenyum licik, tiba-tiba muncul di dalam kepala Edzard.

Shit.










BAD TYPE: SIDE BTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang