BAD TYPE SIDE B: Chapter 6

1.1K 175 9
                                        

"Jadi, yang ini ditambahin sama yang ini, terus yang ini dikurangin. Jangan lupa samain dulu penyebutnya." Edzard menunjuk deretan angka yang sedang Elodia hitung. Kedua matanya terfokus kepada buku latihan soal matematika milik Elodia, sementara yang diajak bicara—yaitu si empunya buku—justru asyik melamun.

Menyadari pikiran Elodia sedang tidak berada di tempatnya, Edzard menghentikan ocehannya, lalu menutup buku latihan soal Elodia dengan kencang. Ia sengaja melakukan itu agar Elodia kembali terfokus padanya.

"Lo kenapa, sih? Badan lo di sini, tapi pikiran lo malah berkelana. Ke mana? Langit ketujuh?" protes Edzard, menoyor kepala Elodia.

Elodia mengulum bibir bawahnya, sebelum menggigitnya pelan. Tampak keraguan membayangi sorot matanya. Edzard jadi semakin penasaran.

"Woi!" sentak Edzard, membuat Elodia mengernyit kesal.

"Apaan?" tanya Elodia, bersikap seolah-olah ia tidak mengindahkan pertanyaan Edzard sebelumnya.

"Ya lo kenapa?"

"Gak kenapa-kenapa."

"Gue gak suka cewek tukang bohong."

Elodia mengembuskan napas lelah. "Ya terus?"

Edzard menyunggingkan senyum meremehkan. "Ya... siapa tahu lo masih ngejer gue. Sekedar info aja biar lo tahu tipe cewek gue kayak gimana."

Elodia mengambil buku latihan soalnya, ia gulung, lalu ia pukulkan ke punggung Edzard. "Siapa juga yang  masih ngejer lo?!"

Ringis kesakitan Edzard kalah dominan dengan tawa lebarnya yang ia tujukan kepada Elodia. "Yaudah, kerjain lagi nih soalnya." Laki-laki itu lalu mengambil gulungan buku latihan soal dari tangan Elodia, lalu membuka halaman terakhir yang sebelumnya sedang mereka kerjakan bersama. "Lanjutin. Bentar lagi gue kudu balik."

Elodia bangkit dari duduknya di lantai. "Gue ambil minum dulu deh. Haus."

Menginjakkan kakinya di dapur, fokus Elodia tertuju pada lemari penyimpanan gelas. Ia mengambil salah satu mug berukuran sedang berwarna putih dengan gambar jeruk kecil-kecil. Kemudian, Elodia bergeser beberapa langkah ke arah dispenser, dan mulai mengisi mugnya dengan air dingin. Ia menghabiskan isian pertamanya dengan cepat, lalu mengisi lagi mugnya sampai penuh. Elodia bermaksud menghabiskan isian keduanya di ruang tamu, supaya tidak perlu bolak-balik mengambil minum.

Sialnya ketika dia hendak keluar dapur, ia justru bertabrakan dengan Edzard yang ternyata menyusulnya ke dapur.

"Waah!" Kaus Edzard terkena tumpahan air minum Elodia.

"A-aduh, sori-sori!" Elodia refleks mengibaskan tangannya ke bagian kaus Edzard yang basah. "Lagian lo juga, sih!" Elodia berdecak, seraya menatap tajam ke arah Edzard.

Edzard tercengang. "Yee... namanya juga kecelakaan. Gue sama lo tuh sama-sama gak tahu posisi masing-masing. Biasa aja kali!" sahutnya, kesal. Enak saja Elodia mau menyalahkan dirinya.

"Terus gimana nih?" Elodia meletakkan mugnya di atas meja makan, lalu memandangi wajah Edzard yang kusut karena pertanyaan Elodia yang menurutnya konyol.

"Ya mikir aja. Tega amat lo biarin gue pake baju basah gini?" Edzard menarik kausnya, menunjukkan noda air yang cukup lebar kepada Elodia. "Kalau gue masuk angin, lo yang bayarin ongkos dokter."

"Alah, lebay lo!" Elodia setengah berlari melewati Edzard menuju kamar tempat Bi Menik biasa menyetrika baju. Kamar itu terletak tidak jauh dari pintu menuju halaman belakang, di belakang dapur.

Menemukan tumpukan baju yang baru disetrika, Elodia mencari kaus miliknya yang dirasa cukup besar untuk dikenakan Edzard. Ia mengambil kaus hitam polos yang baru ia beli dua minggu lalu. Kebetulan kaus itu memang kaus untuk laki-laki.

Alih-alih menunggu di dapur, Elodia justru menemukan Edzard di ruang keluarga, duduk di sofa dengan wajahnya yang masih kusut seperti sebelum Elodia meninggalkannya untuk mengambil kaus.

"Lama banget," ujar Edzard, ketus. Ia berdiri, menghampiri Elodia yang juga sedang berjalan ke arahnya.

"Yee, masih bagus lo gue pinjemin ka....us." Elodia tertegun. Edzard melepaskan kausnya dengan santai di hadapannya. Dia kira semua laki-laki selalu memakai kaus dalam di bawah baju mereka. Melihat Edzard, sepertinya Elodia harus meralat pemikirannya yang satu itu.

Edzard yang bertelanjang dada nyaris membuat kedua bola mata Elodia meloncat dari tengkoraknya. Ketika tatapan Edzard menangkap basah pandangan Elodia terhadapnya, Elodia buru-buru menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Lo gila, ya? Main buka baju aja."

Edzard mengulum senyum, lalu terkekeh. "Apaan, sih? Belum pernah lihat cowok telanjang dada?"

"Ya ngapain juga gue ngeliatin cowok telanjang dada?!" Suara Elodia naik satu oktaf.

Sebelah alis Edzard menukik saat tangannya bersentuhan dengan tangan Elodia, kala ia mengambil kaus hitam dari murid lesnya itu. Dingin. Segugup itukah Elodia? Tapi, begitu melihat celah-celah dari jemari Elodia, senyum jenaka Edzard pun menunjukkan lengkungannya. "Sok-sokan gak mau lihat padahal penasaran," katanya, sambil menoyor kepala Elodia hingga terdongak ke belakang.

Elodia menurunkan kedua tangannya, mengentakkan kaki dengan keras saat dilihatnya Edzard sudah mengenakan kaus hitam miliknya. "E-eh! Siapa juga yang—"

"Berisik. Buru sini belajar lagi!" Edzard yang telah lebih dulu berjalan menuju ruang tamu pun berteriak, memotong racauan Elodia.

Elodia merapikan rambutnya, menyelipkan sulur-sulurnya ke belakang telinga seraya mengembuskan napas lelah. Bayangan Edzard yang bertelanjang dada tiba-tiba melintas, membuat pipinya menciptakan semburat merah. Namun, begitu kesadarannya kembali, Elodia menampar pipinya sendiri dengan kencang.

"Sadar, El! Sadar!!!"

***

"Seksi banget. Gue baru tahu dia berotot." Elodia memilin-milin rambutnya. Pandangannya lurus menatap langit-langit kamar. "Ah... Mau sampai kapan begini terus?"

"Ya, bakalan gini terus kalau lo ketemu dia hampir tiap hari gini." Rachel menimpali dari seberang telepon. Jam delapan malam adalah jadwal mereka bertelepon. Mengobrol kan banyak hal, apa saja, yang tidak sempat mereka ceritakan saat di sekolah. "Eh, berarti secara gak langsung, lo lagi ngaku nih sekarang, kalau belum move on dari dia?"

Elodia tidak terganggu dengan tawa mengejek yang dilontarkan Rachel padanya. Sekeras apa pun dia mengelak, toh, Rachel tidak pernah bisa ia kelabui.

"Masalahnya, doi udah punya gebetan." Elodia membalas lirih. "Gue penasaran, kayak gimana ya orangnya?"

Rachel tidak langsung menimpali. Tidak heran, sih, kalau laki-laki seperti Edzard sudah punya gebetan. "Paling temen kampusnya."

"Kayaknya emang iya." Elodia memiringkan badan, memeluk guling. "Cantikan dia atau gue ya?"

"Mana gue tahu!"

Elodia mendesah. "Jelas lebih cantik dong ya? Ah....."

Rachel lagi-lagi tertawa. "Gue bukannya prihatin, malah lucu tahu lo begini. Yaudah lah, El. Kayak laki-laki cuma Edzard aja? Ntar kita kuliah juga lo lupa sama dia. Banyak yang jauh lebih cakep daripada Edzard di luar sana."

Elodia tidak bersuara untuk waktu yang cukup lama. Rachel benar. Kenapa dia harus memusingkan Edzard? Padahal laki-laki di dunia ini tidak cuma Edzard seorang.

Terdengar dehaman Rachel dari seberang telepon. "El, setidaknya lo harus yakin kalau manusia diciptakan berpasang-pasangan. Jangan buru-buru. Bisa jadi perasaan lo cuma sekadar penasaran, atau rasa suka sesaat aja yang tiba-tiba muncul gegara ketemu lagi sama dia."

Penasaran? Rasa sesaat? Benarkah?

Memutuskan untuk mengabaikan pertanyaannya, Elodia kembali berbaring telentang. "Yaudalah, Chel. Gue tidur duluan aja. Sampai ketemu besok di sekolah."

BAD TYPE: SIDE BTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang