05. Serius?

13.2K 1.1K 18
                                    

Happy reading!

***

"Mas Bian udah belum?"

Aku rasa, sudah satu setengah jam menunggu Mas Bian berpakaian. Lama sekali sampai rasanya kaki ku berlumut menunggu ia keluar kamar. Jongkok, berdiri, jongkok lagi, berdiri lagi begitu terus sampai kakiku beneran potek.

Cklek.

Baru saja ingin memanggil namanya lagi, pintu terbuka menampilkan Mas Bian sudah rapih dengan kaos hitam dibalut kemeja yang ia biarkan tak terkancing, serta celana jins. Buset ganteng amat, kalau begini caranya bagaimana perempuan itu mau-mau saja ia tolak?

Oke sadar Quin, mau secakep apapun dia--Dia itu tetap Mas Bian laki-laki menyebalkan, pelit, dan enggak banget.

Tapi kalo Mas Bian bergaya casual gini, jujur saja ia terlihat masih di umur 23-an.


"Menurut kamu kalau perempuan itu liat saya gini dia bakal suka gak?"

Aku refleks menjawab, "Suka." Dan Mas Bian tersenyum senang, seolah baru saja aku sanjung, padahalkan maksudku bukan menyanjungnya. "Suka kalau dia gak tau sifat Mas Bian gimana." Nah yang ini aku hanya melanjutkan dalam hati.

Saat Mas Bian sibuk mengagumi penampilannya sendiri, aku diam-diam menyumpahinya dalam hati. "Saya tau, saya emang ganteng kan, In?" Ucapnya dengan amat sangat pede, lalu membenarkan jasnya dan berdehem singkat.

Aku tertawa garing menyahuti ucapan manusia super pede ini, tapi ya mau gimana lagi emang ganteng sih. Tapi lebih ganteng lagi kalau dia gak sadar dia ganteng.

Soalnya aku pernah dengar, kalau orang ganteng sadar dia ganteng katanya bahaya. Ternyata memang bahaya, ini buktinya laki-laki didepanku sedang sibuk menganggumi wajahnya dengan pantulan dari ponsel.

Ajaib sekali.

"Masih lama gak Mas?" Tanyaku dengan senyum terpaksa, Mas Bian melirikku berdehem singkat lalu menaruh handphone-nya. Tanpa bicara apa-apa dia berjalan begitu saja meninggalkan aku yang dibuat melongo dengan tingkahnya.

Ia menoleh saat sadar aku tak mengikutinya. "Lama banget kamu, ayo cepetan!"

Lah? Kenapa malah aku yang kena?

Dengan mulut yang tak henti-hentinya memaki tanpa suara, aku mengikuti Mas Bian hingga masuk kedalam mobil, namun dengan tak tau diri--itu sih kata dia, aku malah duduk dibelakang.

"Ayo Mas jalan!"

Hening.

"Kamu kira saya supir kamu?"

"Bukan."

"Gak tau diri banget kamu, duduk disamping saya. Cepet!"

Aku turun dari mobil dengan kesal. "Cefet, cefet. Dasar tukang ngamuk, gak berperi kemanusiaan, tukang hujat tu---"

"Mau berapa lama lagi kamu ngedumel cepet. Waktu kamu sama dengan uang saat ini, jangan bikin say---"

"Iya, iya Mas."

Lama-lama panas kupingku mendengar ocehan Mas Bian, mudah-mudahan hari ini cepat berlalu.

Married with my bos!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang