Happy Reading!***
"Papah!"
Pak Bisma berdecak cukup keras, tak menghiraukan anak bungsunya yang sudah misuh-misuh tak jelas. "Cantik cocok dijadikan istri," ia menjeda ucapannya. "Jika saja kamu berasal dari keluarga baik-baik, dan berada."
Aku meremat erat ujung celemek yang ku kenakan. Memang benar aku tak berasal dari keluarga berada, tapi belum tentu keluargaku tidak baik. Percuma kaya, tapi mulut sampah seperti orang tak beretika!
"Kenapa kamu gak coba jual parasmu itu, tempat pembantu sepertinya kurang cocok untuk kamu." Sepertinya si tua ini memang sedang mancing-mancing emosi. Kenapa bukan pergi mancing ikan saja sana?!
"Saya disini mengantikan ibu saya, adik saya sakit."
"Pantas saj---"
Tak.
Mas Bian menaruh gelas begitu kasar hingga berbunyi nyaring, ia mencengkram erat gelas itu. Ini bahaya, aku seharusnya tadi dibelakang saja deh.
Ia menarikku hingga mundur beberapa langkah dari sana, ia menggantikan posisiku berdiri tepat disamping Papahnya. "Kalau Papah marah ke Bian, jangan lampiasin ke orang lain lagi pula dia gak sengaja," ucapnya. Ini Mas Bian membelaku? Kerasukan apa dia?
Apa gara-gara kaki luka, bisa mempengaruhi pikiran? Ah ... masa ia begitu.
Nyonya Renata dan Bella pergi saat Pak Bisma mengangkat tangannya isyarat menyuruh mereka untuk pergi, tidak ada acara sarapan bersama pagi ini. Tanganku juga ditarik menjauh dari sana oleh Mas Bagas yang entah sejak kapan sudah disampingku saat itu.
Ia menarikku hingga ke halaman belakang rumah. "Ngapain lo cari gara-gara sama Papah sih?" Tanyanya sedikit tak santai, "untungnya lo gak nyampe dipecat."
Aku menghela napas dalam, lalu duduk diatas lantai karena kakiku rasanya lemas kena roasting orang kaya. Mas Bagas juga ikut duduk disampingku.
"Maaf," lirihnya, aku menoleh minta maaf karena apa? Seolah tau--- aku tak paham maksud maafnya kemana Mas Bagas menepuk bahuku. "Sory, karena gak bisa belain lo di depan papah, padahal jujur aja nih gue anggap lo itu temen gue sejak pertama kesini."
Aku mengangkat halis mengingat-ngingat pertama kali aku kesini, memang Mas Bagas paling berisik waktu itu. Ia memperkenalkan diri terlebih dahulu, bahkan membawaku tour rumah besar ini. Katanya dia emang suka gitu--kata Bi Emi begitu, soalnya dulu dirumah lama Bi Emi juga diajak tour. Agak lain emang Mas Bagas ini.
"Kenapa Mas mau temenan sama aku?" Tanyaku penasaran. Alasan apa dia sampe mau temenan sama aku yang jelas-jelas sangat tak sama dengan teman-temannya yang lain.
"Karena lo kampungan."
Buset. Golok mana golok? Perlu ditebas nih.
Aku tertawa garing, aku kira jawaban dia membuatku terharu, atau apalah gitu. Ini karena kampungan, tapi memang iya sih waktu pertama kesini, aku merasa jadi manusia gagap teknologi, dapur yang lengkap dengan segala macam elektronik canggih.
Apalah aku yang dikampung cuma mentok kompor gas, itupun sudah lumayan usang.
Mas Bagas malah ikut tertawa juga, tawa yang terdapat unsur meledek. "Jarang aja gitu nemu kaya lu, mana pertama kesini lu kepang dua, keliatan banget kampungan."
Mulutnya memang butuh disaring!
kakak, adik, Bapak sama semua ternyata. Definisi buah jatuh tak jauh daripohonnya. "Makasih loh Mas, aku tersanjung," ucapku memasang senyum tak ikhlas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with my bos!
HumorDia dengan segala peraturannya. Peraturan pertama: Jangan sentuh Mas Bian baik sengaja maupun tak di sengaja menyentuhnya. Peraturan kedua: Jangan potong ucapan Mas Bian. Baik refleks ataupun bukan, gajih potong lima persen. Peraturan ketiga: Mas...