Happy reading!
***
Hari ini Kediaman Albar tengah mempersiapkan hari bahagia mereka, pasalnya si sulung, lebih tepatnya Mas Bian akan melangsungkan pernikahan besok. Akhirnya ia menikah juga, aku turut bahagia.
Bahagia karena kemungkinan Mas Bian akan meninggalkan kediaman Albar ini, kan jadi enak gak ada dia.
Tapi tunggu ....
Aku dibuat menganga saking takjubnya dengan persiapan yang begitu terkesan mewah, emhh ... orang berada memang beda semuanya dibuat serba mahal, tapi siapa sangka di balik itu justru Mas Bian sama sekali tak setuju dengan pernikahan ini.
Pantas saja terasa aneh tiba-tiba ia mau menikah? Mas Bian yang tiap hari kerja, bahkan dihari minggu pun sepertinya hari-hari bagi mas Bian terasa senin terus.
Lagi pula siapa memangnya yang mau menikah dengan orang yang sama sekali tak dicintainya, terlebih tiba-tiba menikah. Aku sih amit-amit!
Apalagi Mas Bian, tidak terbayang bagaimana rumah tangganya tiap hari merasa ingin pisah setiap detik. Mas Bian memang suami-able tapi sifatnya tidak sih menurutku.
"MAH CUKUP! BIAN BUKAN BONEKA! MAMAH GAK BISA INI ITU INI ITU SEMAU MAMAH!"
"Bian, jangan keras-kera---"
"Biar semua orang tau kalo Bian gak pernah setuju, mamah menikahkan Bian dengan jalang!"
Cangkem mu!
Ucapanmu itu loh mas gak bisa di saring yah? aku langsung menggeleng kepala, miris. Mas Bian memang memiliki mulut pedas level tiga puluh.
Mas Bian pergi begitu saja, dengan Mamahnya yang membeku melihat Mas Bian pergi, terlebih dia syok mungkin anaknya yang berpendidikan, memiliki mulut macam lambe turah. Kalo aku emaknya dah aku tabok tujuh kali mulutnya!
Tapi memang dasar aku malah nekat mencari mas Bian. Faedahnya apa? yang ada mungkin gajihku merosot secara drastis.
Mas Bian ternyata tengah merenung di depan kolam ikan. "MAS BI--AN!" Ucapanku menggantung.
"Ngapain kamu ke sini? Mau minta naik gajih?" Mas Bian terkekeh dengan mata yang masih sibuk melihat ikan. Ikan, oh ikan betapa beruntungnya dilihat cogan. "Jangan harap!"
Eh buset!
Aku mendekat dan tersenyum semanis mungkin, efeknya ikan di kolam ngambang melihat senyumku. "Mas mau nikah malah galau, senyum dong masa calon penganten begini," ledekku.
Mas Bian melirikku tajam. "Saya gak galau. Saya cuman mikir aja, apa setelah nikah saya harus memikirkan harga beras, bawang, dan garam."
Hawa-hawanya aku mencium bau bapak medit di sini. "Itu bagian istri tau mas, mas tinggal kasih ua---"
"Itu dia masalahnya saya gak suka bagi uang." Aku menatapnya. "Apalagi bagi hati."
Aku turut berduka cita untuk istrinya nanti udah tak dapat cinta, RIP uang bulanan pula, Kasihan pasti tiap hari terkena mental menghadapi sifat Mas Bian.
Di depan kolam ikan, Mas Bian merenungi nasibnya sendiri, beberapa kali ia menghela napas dalam. Aku tak dianggap seolah aku ini hanya patung.
Tapi gak masalah mas Bian kalo diam tambah cakep, soalnya mulut pedasnya Non aktif, tapi kalo di lihat-lihat lagi kasihan juga sih.
Iya kasihan, kalo tiba-tiba mas Bian nyemplung ke kolam ikan saking stresnya gimana?
Mas Bian berdecak, menyentil keningku. "Quin kolam ikan ini sama dangkal dengan pemikiran kamu!" Aku mengerjapkan mata beberapa kali, kok-kok mas Bian bisa tau?
"Pikiran kamu emang dangkal makanya saya tahu!"
"Tapi kok bis---"
Mas Bian ini hobi banget potong-potong ucapanku. Kalo aku kaya gini pasti dia bilang, 'potong cepuluh peysen!'
"Menurut kamu? apa saya kelihatan tua?"
Aku meneliti wajah mas Bian, jujur saja dia bahkan terlihat muda-muda saja. "Emm ... bukan kelihatan lagi, mas emang tua!" ucapku dengan tawa, padahal aku hanya bercanda saja, tanpa sadar menepuk-nepuk bahunya, seketika lirikan tajam mas Bian membuatku sadar.
Peraturan!
"Peraturan pertama!" Ancamnya.
Aku menunduk. "Jangan sentuh mas Bian, baik sengaja maupun tak di sengaja," lirihku.
"Maap mas, Quin hilap." Mas Bian mengangguk. Eh--tumben sifat kudisnya tak ada.
"Tapi emang saya setua itu yah?"
Aku menggeleng. "Untuk ukuran pengusaha sukses mas gak tua kok!" Ini aku bicara sejujur-jujurnya.
Itu memang kenyataan, terkadang orang lain tak bisa membedakan mana mapan, mana tua tapi tak mapan. Contohnya Mamah Mas Bian sendiri.
Hingga anaknya dijodohkan, dan berakhir dinikahkan secara persetujuan sepihak. Tak terbayang bagaimana perasaan perempuan yang dinikahi Mas Bian, tanpa ada unsur cinta.
Bersyukur jika ending kisah mereka nanti sama seperti dinovel-novel kedua tokoh saling jatuh cinta dan hidup bahagia. Sayang ini real life. Kemungkinan 30%.
Semuanya yang terlihat nyata, bisa digapai hanya di dalam bayangan. Kenyataannya, akan berbanding terbalik menampar.
"Mas." Panggilku.
Menurutku Mas Bian itu, Mapan. Dia juga tak tua-tua amat. Kekurangannya tinggal seorang istri yang melengkapi. Laki-laki juga pasti butuh sandaran saat lelah, dan saat itulah seorang istri berperan.
Mas Bian masih diam, berperang dengan batinnya. Mungkin. "Tapi, kenapa mas gak mau ni---"
"Nikah bukan planning saya saat ini." Aku mengangguk paham, orang pintar di tambah kaya memang gitu, lupa dengan masalah asmara sendiri. Intinya hal yang menghambat kesuksesan pasti dikesamping 'kan.
"Apalagi saya memiliki seseorang yang saya cintai."
"Siapa mas?!" Jiwa kepoku kumat seketika, mas Bian punya gebetan?! wah hot news buat bahan gibah, di pojokan dapur bersama art yang lain.
"Kamu mau tau?!" Aku mengangguk. "Iya dong ma---"
"Kamu!"
"H--HAH!"
Fiks, telingaku bermasalah!
"Tapi boong."
Menghujat majikan sendiri adalah kesalahan besar, tapi sekali-kali boleh lah. Bian sialan! Jokesnya tidak lucuuuu, dasar om-om!
Tbc.
Revisi: 20 Agustus 2022.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with my bos!
ComédieDia dengan segala peraturannya. Peraturan pertama: Jangan sentuh Mas Bian baik sengaja maupun tak di sengaja menyentuhnya. Peraturan kedua: Jangan potong ucapan Mas Bian. Baik refleks ataupun bukan, gajih potong lima persen. Peraturan ketiga: Mas...