EPISODE 2 - OMELAN 120 KATA PER MENIT

8.7K 712 30
                                    

Mara sudah menyambutku sambil bersedekap saat aku kembali ke kantor. Raut wajahnya tampak kesal. Duh, jangan bilang dia tadi nonton acara gosip di televisi. Aku melewatinya dan langsung menuju kubikelku. Beberapa saat kemudian, kudengar ketukan sepatu mengikutiku.

“Apa ada yang mau kamu jelasin, Na?”

“Hm?” Aku menoleh. Mara sudah berdiri di sampingku, masih dengan gaya bersedekapnya. “Apa?”

Mara mendengkus. “Nggak usah pura-pura bodoh, nanti bodoh beneran tahu rasa kamu.”

“Apa sih, Mar? Emangnya apa yang pengin kamu dengar?”

Gadis itu mengutak-atik ponselnya, kemudian menunjukkan layar yang tengah menyala menampilkan sebuah video tepat di depan wajahku. Aku sampai memundurkan kepala karena Mara terlihat ingin sekali menggetokkan ponsel itu ke dahiku.

“Itu! Aku pengin dengar penjelasanmu tentang berita itu.”

Aku mendesah. Terlambat kalau ingin menghindar. Aku hanya perlu menyiapkan telinga untuk mendengarkan omelan 120 kata per menit andalannya.

“Kenapa, sih, kamu nggak pernah mau terbuka sama aku?” Oke, semua drama ini sudah dimulai. Aku bersiap-siap menyumpal telingaku dengan earphone saat Mara mencekal tanganku. “Jangan coba-coba, Nalini.”

Aku ingin mencegahnya menyimpan earphone-ku, tapi aku tahu itu hanyalah kesia-siaan. Mara tidak mungkin membiarkanku melakukannya. Jadi, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah, duduk bersandar di kursi, mendengarkan ceramah yang kemungkinan baru akan selesai nanti sore, atau malah besok pagi.

“Kamu nggak pernah anggap aku teman, ya? Selama tiga tahun ini, kamu cuma anggap aku rekan kerja? Iya, gitu?” Mara menggeleng-geleng. “Tega kamu, Na. Aku nggak nyangka kamu kayak gitu. Padahal aku nganggep kamu sebagai sahabat.”

Sebuah desahan lolos dari hidungku. Dasar dramaqueen! “Mar, bukan kayak gitu. Aku nggak....”

“Apa? Kamu mau bilang kamu nggak bermaksud nyembunyiin semua ini?” Mara kembali menyela ucapanku. “Kamu pacaran sama Chef Najja, lho, Na. Chef Najja! Chef yang sejak dua minggu lalu kita kejar-kejar buat wawancara.”

“Iya, aku tahu. Tapi ini nggak kayak yang kamu pikirin.”

“Ini bukan soal pekerjaan, Na. Aku tahu, kalian tetep harus profesional. Biar dia pacarmu, kalau soal pekerjaan tentu lain cerita. Aku bicara soal pertemanan kita. Apa segitu nggak pentingnya aku buat kamu sampai kamu nggak mau cerita apa pun soal hubunganmu dengan Chef Najja?”

Nyaris semenit aku menahan napas demi mendengar Mara menyelesaikan kalimat panjang tanpa jedanya. Saat Mara selesai, diam-diam kuembuskan napas lewat mulut sampai rasanya begitu lega di dada. Aku meringis. Mara menuntut sesuatu yang tidak akan pernah mungkin kulakukan. Sudah jelas, kan, mana mungkin aku bisa menceritakan apa pun soal ‘hubungan’ dengan Chef Galak bin Sengak itu?

“Jadi, sejak kapan kalian pacaran?”

Kutelan ludah dengan susah payah. Seandainya saat ini juga aku bisa meminta pendapat netizen yang mulia di story IG, mungkin aku bisa mendapatkan jawaban apa yang harus kuberikan pada Mara sekarang ini. Sayangnya, itu benar-benar tidak mungkin. Karena, selain Mara akan tahu kebenaran tentang hubungan palsu ini, kemungkinan aku dituntut juga semakin besar.

Kalau biasanya seruan Bu Shalom terdengar sangat menyebalkan, kali ini seruan itu membuat senyumku terkembang. Tuhan, Bu Shalom sudah menyelamatkanku dari drama tak berujung Mara.

Sambil nyengir, aku beranjak dari dudukku. “Bu Shalom manggil, tuh. Bentar, yaa....”

“Na, Na. Nalini!” Aku masih mendengar seruan Mara saat masuk ke ruangan Bu Shalom. Aku menang, Mar, aku menang.

COOKING WITH GIRLFRIEND (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang