Ting!
Gawaiku berbunyi, sebuah pesan whats app masuk.
Aku membaca pesan whats app dari grup alumni SMAku. Sebuah undangan reuni dikirimkan oleh panitia. Aku mencatat tanggalnya dan mengosongkan jadwalku di tanggal itu. Sepertinya akan sangat menyenangkan bertemu teman-teman lama. Menyenangkan tetapi pasti ada pertanyaan klasik yang akan mereka tanyakan yaitu mengenai statusku.
Hari reuni pun tiba. Aku menaiki comuter line menuju kota Bogor tempat diadakannya reuni. Comuter line selalu saja penuh, aku berdiri tidak jauh dari pintu. Empat stasiun sebelum stasiun Bogor seorang ibu yang membawa balita naik. Kereta begitu penuh dan tidak ada yang memberi tempat duduk untuk sang ibu dan balitanya. Tepat di depanku seorang perempuan muda, mungkin usianya di awal dua puluhan tertidur. Aku putuskan membangunkannya.
"Mba!" Aku sentuh bahunya.
Ia menggeliat perlahan lalu membuka mata.
"Tolong berdiri, kasihan itu ibu yang bawa balita gak dapet duduk!"
Tanpa banyak bicara perempuan muda itu pun lalu berdiri.
"Bu, duduk di sini!" Kataku pada sang ibu yang membawa balita. Sang ibu pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih lalu duduk.
Sudah lama sekali aku tidak menaiki Comuter Line, aku menikmati pemandangan dari stasiun ke stasiun. Sampai di stasiun Bogor, bersama ratusan penumpang lainnya aku turun. Dari stasiun aku menaiki angkot menuju Kebun Raya Bogor.
Telah banyak perubahan di kota Bogor semenjak terakhir kali aku ke sini. Mal berdiri megah, ramai lalu lalang kendaraan baik kendaraan pribadi, angkot maupun ojek online.
Tidak berapa lama aku sampai di Kebun Raya Bogor. Di dalam Kebun Raya Bogor teman-teman seangkatanku telah berkumpul. Sebagian besar mereka telah berkeluarga dan membawa serta anak-anaknya. Ramai sekali acara ini. Beberapa teman yang mengenaliku menyambutku dengan bersalaman dan cipika cipiki.
"Hai Jelita, belum nikah?"
"Kamu Jelita yang dulu juara umum kan, masih single?"
"Kapan nikah?"
"Masih jomblo?"
"Nunggu apa sih, umur segini belum nikah?"
"Kriterianya terlalu tinggi kali makanya belum nikah?"
Pertanyaan-pertanyaan itu begitu sering diucapkan teman-teman. Aku hanya menjawab dengan senyuman dan mengalihkan nya membicarakan hal lain. Terlalu sering aku mendapat pertanyaan seperti itu hingga terasa bosan menjawabnya.
Usiaku memang 30 tahun ini, masih single dan bahkan tanda-tanda segera menikah belum terlihat. Tapi aku berusaha menikmati kesendirianku dan bertahan pada prinsipku untuk tidak pacaran. Aku yakin Allah sudah menyiapkan jodoh untukku, cepat atau lambat.
Seorang lelaki berperawakan tegap menghampiri dan duduk di sampingku, "Hai, Jelita ya?"
"Iya, saya Jelita." Aku tatap wajahnya, berusaha mengingat sosoknya masa SMA dulu.
"Saya Armand, masih ingat saya? Dulu kita sekelas." Armand mentapku sambil tersenyum.
"O... Armand yang dulu sekelompok di pelajaran Fisika ya?" Beberapa ingatan tentangnya berkelebat di kepalaku.
"Iya. Kamu masih inget saya, senangnya."
" Maaf ya tadi lupa sejenak." Ucapku sambil tersenyum.
"Gak pa-pa, kamu apa kabar Jelita?" Tanyanya dengan mata berbinar.
"Baik, alhamdulillah. Kamu sendiri? "
"Aku baik dan masih single." Katanya penuh percaya diri.
"Sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Bu Guru (Repost)
SpiritualJelita gadis berkerudung panjang, shalihah, cerdas, pendidikan S-2, cantik, dan ramah. Sepintas tidak ada cela dalam dirinya namun menginjak usia 30 tahun masih belum bersuami juga. Jelita punya alasan rahasia yang membuatnya selalu menolak laki-l...