Move On

3.6K 351 11
                                    


Aku kembali ke Jakarta.  Tak tega sebenarnya meninggalkan ibu, namun aku juga harus kembali bekerja. Murid-muridku menunggu.

Aku merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit kosanku. Sakit itu masih terasa, air mataku tumpah. Di sini aku bebas menumpahkan segala perasaanku tanpa khawatir ibu tahu.

Aku mengetik pesan untuk mba Asti. Aku akan ke rumahnya besok. Mba Asti selalu bisa menjadi tempatku bersandar, tempatku mendapatkan nasihat.

Setelah terlelap beberapa jam, aku terbangun. Pukul 3.30 pagi waktu yang tepat untuk mengadukan masalahku pada Sang Pencipta. Kulantunkan doa setelah menunaikan shalat.

Allohumma laka aslamtu wa bika amantu wa ‘alaika tawakkaltu, wa ilaika anabtu, wa bika khoshomtu. Allohumma inni a’udzu bi ‘izzatika laa ilaha illa anta an tudhillani. Antal hayyu alladzi laa yamuut wal jinnu wal insu yamuutun.

Ya Allah, aku berserah diri kepada-Mu, aku beriman kepada-Mu, aku bertawakal kepada-Mu, aku bertaubat kepada-Mu, dan aku mengadukan urusanku kepada-Mu. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan kemuliaan-Mu – tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Engkau – dari segala hal yang bisa menyesatkanku. Engkau Maha hidup dan tidak mati, sedangkan jin dan manusia pasti mati.

Sore hari setelah mengajar aku memenuhi janjiku untuk menemui mbak Asti. Si kecil Radya menyambutku manja. Kugendong ia sambil menciumnya.

"Duduk Je!"

"Iya mba,"

Mba Asti menyuguhiku dengan segelas teh hangat  dan dua toples camilan.

"Gimana Je, lamarannya?" tanya mba Asti, aku memang belum cerita kejadian yang menimpaku.

"Gak ada lamaran mbak?"

"Loh kok?"

"Armand dan keluarganya tidak ada yang datang?"

"Tepat di hari H?"

"Iya mba."

"Ya Allah. Kurang ajar itu anak."

"Mungkin memang bukan jodohku."

"Ya pasti bukan, kamu berhak dapet laki-laki yang jauh lebih baik dari pada si Armand itu."

"Iya mba."

"Ibumu gimana?"

"Ibu sepertinya terpukul mba, tapi udah bisa nerima keadaan."

"Masya Allah Je, cobaanmu. Yang sabar ya sayang." Mba Asti mengusap pundakku.

"Iya mba."

"Mba yakin ada laki-laki shalih di luar sana yang ditakdirkan untuk kamu. Kamu gak perlu sedih, serahkan semua pada Allah Yang Maha Kuasa. Selama kita dekat denganNya selama itu pula Allah akan menolong kita."

Bicara dengan mba Asti dan bermain dengan anaknya meringankan bebanku. Sedihku perlahan terkikis.

______

Sebulan kemudia mba Asti menghubungiku lewat pesan wa.

Je, bagaimana hatimu?

Alhamdulillah mba, sudah sembuh.

Sudah siap move on?

Maksud mba?

Ada ikhwan yang sedang mencari istri, sepertinya kriteria yang diinginkan sesuai dengan kamu.

Tapi mba, gak kecepetan?

Coba dulu Je, bisa jadi ini jodohmu.

Aku terdiam cukup lama dan tidak menjawab pesan wa mba Asti.  Sambil melakukan pekerjaan rumah, aku memikirkan tawaran mba Asti.

Esoknya aku mengambil keputusan. Aku harus move on. Kuketik jawaban untuk mba Asti.

Insya Allah aku siap memulai proses taaruf.


Alhamdulillah. Nanti mbak kirin biodata ikhwannya ke kamu.

Aku menaruh ponselku ke atas nakas. Dalam hati aku berdoa semoga inilah jodohku.



Jodoh Untuk Bu Guru (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang