Nightmare - 3

142 14 1
                                    

Beberapa saat setelah kepergian Erika, Val mendobrak masuk kedalam ruang kerja Om Nathan. Dibelakangnya Andrew mengejar dengan tergopoh-gopoh, asisten rumah tangga yang malang.

Kemudian, kulihat wajah sembab Valeria. Matanya merah tanpa ada setitik air mata disana. Dan, firasat buruk yang tadi kurasakan kini menjadi nyata.

- -

Dan disinilah kami sekarang.
Kami dengan cepat melesat menuju,sebuah rumah sakit swasta di bilangan Karawaci, Tanggerang. Saat memasuki ruangan, Valeria membawa berita buruk bagi kami.

Misi yang sedang dijalankan oleh Rima, Putri, Aya, dan tentunya Erika, gagal dilaksanakan. Semuanya terluka parah, hanya Putri yang berhasil selamat.

Saat dulu menghadapi Noriko, Erika pernah bercerita, kalau Putri selalu tidur atau pingsan selama ada kejadian menegangkan yang membahayakan nyawa. Alhasil, Putri selalu menjadi orang yang menderita luka paling ringan. Termasuk kali ini.

"Di dalam, Putri akan menceritakan semuanya." Itu pesan Val sesaat sebelum kami memasuki kamar inap yang ditempati Putri.

Dan saat kami masuk, Putri langsung menatapku dengan tajam. Kebencian yang tidak terbendung lagi terpancar dari matanya. Bahkan ia sama sekali tidak merasa enggan meski ada Om Nathan disampingku.

"Ngapain Si Bangsat ini kesini?" dalam sekejap, kurasakan wajahku memerah karena emosi. Perempuan sialan.

"Siapa yang lo panggil Bangsat, perempuan hina kayak lo, nggak pantes ngehina gue!" aku pun ikut menyalak tanpa memandang kehadiran orang lain disini.

"Erika mati karna lo."

JDERRRR

Sebuah petir imajiner menyambar dari kepala hingga ujung tulang ekorku, membuat rasa ngilu yang bahkan terdengar mendecit didalam telingaku.

"Mana mungkin anak itu mati-"

"Tapi dia memang meninggal." Kini Valeria yang menimpali. Semuanya diam.

"Kamu kan udah nggak peduli dengan Erika lagi. Jadi harusnya berita inipun nggak perlu kamu dengar. Benar kan, Tuan Muda Yamada?" Putri tersenyum. Tidak dibuat-buat, tapi aku bisa melihat kedua rahangnya terkatup dengan kuat. Seakan, kalau tidak begitu, giginya bisa mencabik siapapun yang ada dihadapannya.

"Apa, kamu yakin Putri, kalau Erika sudah meninggal?" Putri mengangguk, dan menyodorkan sebuah map dan kunci yang sudah patah pada Om Nathan. Benda yang sama yang Erika tinggalkan tadi.

"Anak itu gak akan pernah mati." aku bergumam datar. Membayangkan hal buruk yang bahkan tidak pernah terbayang sebelumnya olehku.

"Setelah dia tahu, kalau si Tunggal Yamada ini mencampakannya, dia memilih ikut misi ini. Padahal harusnya Val yang disini." Aya langsung menyambar sesaat setelah diam cukup lama. Ia agak kesulitan berbicara, dokter bilang, rahan bawahnya retak. "Harusnya Val, tapi Erika maksa ikut." Aya memandangku penuh emosi.

Bahkan anak yang biasanya jarang bicara selain uang, kini ikut menyudutkanku.

"Erika bilang, lebih baik dia mati ditengah misi. Ketimbang hidup dengan dibenci oleh lo!"

Dasar anak bodoh itu...

Setelah itu, aku tidak lagi berfokus pada apa yang mereka bicarakan. Semuanya bagai kaset rusak yang membingungkan dan memekakan telinga.

Dan, bagai pecundang, aku berlari keluar meninggalkan orang-orang yang merasa menang telah menghancurkan egoku.

Omen Love StoriesWhere stories live. Discover now