Dua puluh satu

215 23 4
                                    

Hai hai.
Nungguin kelanjutannya ya?
Jangan lupa vote dan komen bawel yaaaaa

Dengan badan letih, Prilly memasuki rumahnya. Ransel sekolah tak lagi di pundaknya, melainkan di tenteng. Prilly mengedarkan pandangannya ke penjuru rumah, sepi. Kemana kakak-kakaknya, ia melirik jam yang melingkar di tangannya, menunjukkan pukul setengah enam. Inikan sudah jam pulang kerja kenapa kedua kakaknya tak ada di rumah.

Tak ambil pusing Prilly menaiki anak tangga menuju kamarnya. "Dari mana baru pulang? Kakak tadi mau jemput kamu. Tapi katanya pak satpam pulang cepat, terus kamu kemana pulang sekolah? Jalan sama Ali" ucap kak Revan sarkastik duduk di depan piano.

Prilly terdiam, tubuhnya menegang. Ia masih membelakangi kakaknya tak berani menatap sang kakak. "Tadi prilly kumpul sama temen-temen kak. Nggak jalan sama Ali. Tadi ada yang ulang tahun. Prilly udah izin ke kak dewa tadi, karena kak dewa tadi bilang mau jemput Prilly, nggak tau kalo kakak mau jemput aku" sedikit demi sedikit Prilly memutar tubuhnya berhadapan dengan Kaka keduanya.

Revan melangkah mendekat, "kamu nggak pandai berbohong. Kalau Sampek ada yang tahu kelakuan kamu, kakak nggak akan ngebantu. Kamu tanggung sendiri akibatnya" bisik Revan datar kemudian melangkah ke arah kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Prilly.

Belum sempat sampai dua langkah Revan merasa sepasang tangan memeluknya dari belakang. Ia dapat merasakan bahwa kini adiknya menangis. Revan memutar tubuhnya, merengkuh tubuh adiknya yang bergetar, mengelus punggung adiknya sayang. "Jangan hiks hiks kayak giiiii hiks nih kak, Prilly hiks hiks nggak mau hiks hiks" kaos yang di kenakan Revan sudah basah karena air mata prilly.

Tangis prilly mulai reda, Revan menarik Prilly duduk di sofa samping piano. Menyeka air mata Prilly yang masih jatuh. "Udah ya nggak usah nangis lagi" semarah apa pun Revan tapi ia tetap tak tega melihat adiknya menangis. Bagaimanapun juga Revan harus selalu menjaga adiknya.

Prilly mengatur nafasnya, "maaf ya kak, Prilly juga nggak tahu kalo kayak gini jadinya. Prilly juga bingung, jujur Prilly sayang sama Ali dan Ali juga gitu." Prilly mulai terbuka dengan sang kakak.

Tangan besar Revan mengelus rambut Prilly "terus Akbar?" Tanya Revan. Yang sedikit kecewa dengan sang adik.

"Prilly juga sayang banget sama Akbar, tapi Prilly bingung sama perasaan Prilly, prilly nyaman sama dua-duanya"

Revan menghela nafas, "pokonya kamu harus tetep jaga jarak sama Ali, kakak nggak mau keluarga kita tahu apalagi keluarga Akbar. Keluarga kita sama keluarga Akbar sudah berteman lama. Papa pasti malu sama keluarga Akbar." Nasehat Revan, bukanya mengatur tapi ia hanya ingin yang terbaik untuk adiknya. "Lusa papa sama Mama pulang, jangan buat ulah.  Kakak yakin perasaanmu untuk Ali Hanya sesaat" sebelum beranjak Revan mengecup pucuk kepala prilly singkat.

Prilly terdiam, memandang punggung kakak keduanya yang menjauh. Ia juga membenarkan nasehat sang kakak. Ia tak mau hanya karena perasaannya hubungan baik keluarganya dengan keluarga Akbar rusak. Kini Prilly semakin bimbang, apa benar perasaan ke Ali hanya sesaat?.

*****

Setelah makan malam dan sholat isya, Akbar berniat menelfon kekasihnya. Ia melirik jam dinding, menunjukkan pukul sembilan lewat sepuluh menit. Ia baru saja pulang dari tempat olimpiade. Ia sangat rindu dengan suara Prilly. Ia terkekeh memikirkan dirinya sendiri yang tak bisa jauh dengan Prilly. Akbar mengambil ponselnya, dan langsung mendeal nomor Prilly. Namun, suara operator yang ia dengar, dahi Akbar mengerut "Prilly telfon sama siapa malem kek gini" gumam Akbar menatap ponselnya. Melihat foto dirinya dan Prilly yang menjadi wallpaper ponselnya.

Akbar meletakkan ponselnya kembali. Ia berniat menelfon kembali setelah mandi. Namun, tetap sama. Padahal sudah jam sepuluh, dengan siapa prilly bertelfon. Akbar menghembuskan nafasnya, tubuhnya sangat lelah. Lebih baik ia istirahat, besok pagi ia akan menelfon kembali sang kekasih.

MAAFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang