Kurasakan keningku mengkerut seiring dengan alis yang bertaut. Dada ini membusung menahan banyaknya udara yang terhisap hidung. Aku marah. Aku naik pitam. Bagaimana tidak? Anakku yang belum lama ini merayakan ulang tahunnya yang ke empat, sedang di bully di depan mata. Ia menangis tak jauh dari tempatku berdiri.
Abram, ia terisak sambil menengadahkan kedua telapak tangannya yang kotor dan lecet. Lututnya luka. Sedangkan sepeda baru yang kubelikan sebagai hadiah, sedang mondar mandir di belakangnya. Seorang anak laki-laki lain yang lebih besar terlihat sedang asik mengayuh. Sesekali ia menjulurkan lidahnya ke arah putraku.
Aku bukan hanya kesal pada anak nakal itu. Tapi juga pada segerombolan ibu-ibu rumpi yang hanya menyaksikan anakku dibully. Mungkin bagi mereka ini tontonan mengasyikan. Aku benci. Benci komplek ini. Kadang rasanya ingin enyah saja. Belum genap seminggu pindah ke sini, namun rasanya sudah ingin pergi lagi.
Aku bergegas menghampiri Abram. Kuhapus telapak tangannya perlahan. "Sakit Mi ... hu ... hu...!" isaknya. Pantas saja anakku kesakitan. Ada beberapa kerikil kecil yang masih tertancap di telapak tangannya. Sejurus kemudian, aku berkacak pinggang. Menatap tajam ke arah anak nakal yang masih mengayuh sepeda milik anakku dengan santainya.
Sadar sedang ditatap, anak itu memelankan laju sepeda. Kemudian dengan kasar, ia membanting benda beroda dua seharga dua juta itu tak jauh dari kakiku.
'Anak setan,' batinku.
"Eh, gak boleh gitu dong. Kasian kan dedeknya." Ku usahakan mengatur nada sewajarnya. Anak nakal itu diam saja dengan wajahnya yang mulai berubah merah padam.
Selang beberapa detik, datanglah seorang wanita berkerudung jingga. Anak nakal itu langsung bersembunyi di balik tubuh kerempeng yang menurut dugaanku, pastilah ibunya. Mirip soalnya.
"Namanya juga anak-anak, biasa aja kali." Tiba-tiba ia melotot padaku.
Loh, kenapa malah ibu ini yang sewot?
"Bener, anak-anak. Tapi kalau diajarin baik-baik, kelakuannya pasti gak kayak gini," rutukku.
"Maksud kamu apa? Aku gak bisa ngajarin anak? Gitu?" Wanita itu sekarang yang berkacak pinggang.
'Loh, emang iya kan?' Batinku. Bukan tidak berani mengatakannya, tapi, apa gunanya? Hanya akan memperpanjang mukadimah dan pasti akan membuat rasa kesal bertambah.
Kuambil sepeda itu, lalu kutuntun dengan satu tangan. Sedang tangan yang satunya kugunakan untuk menggandeng Abram.
"Abam gak, Mi, sini sepedanya," tutur anakku.
Aku menunduk mencari netra Abram. "Udah jangan main lagi. Sini Mami obatin dulu lukanya. Kita pulang aja ya?" Aku membujuk, hingga Abram mengangguk."Cih ... Mami? Sok kaya banget!"
Bisikan itu terdengar jelas di telingaku. Entah memang pendengaranku yang sedang tajam, atau dia sengaja agar aku mendengar. Aku berbalik, lalu mencoba membesarkan kedua bola mata.
Namun belum sempat kata-kataku meluncur, Abram menarik ujung bajuku."Udah Mi, sabal ... sabal..." ujarnya dengan wajah polos.
Aku tersenyum, kemudian ku elus pipinya yang gembil, "Anak pintar ... ini baru anak Mami."
"Yuk Mi, kita pulang aja ... Abam lapar Mi." Ku lihat Abram menepuk-nepuk perut kecilnya.
"Oke ..." balasku. Memang rasanya ingin cepat-cepat menghilang dari sini. Gerombolan ibu-ibu yang hanya jadi penonton itu semakin membuatku muak.
====
"Jangan main sendiri lagi. Tunggu Mami kelar beberes dulu, baru nanti Mami temenin main, oke?" Aku selesai membersihkan luka-luka kecil Abram. Ia mengangguk ringan. Lalu aku bergegas mengambilkan makanan untuknya.
Abram sudah terbiasa makan sendiri. Namun saat aku melihatnya menyuap makanan dengan susah payah karena telapak tangan yang terluka, dengan sigap, kuambil sendok dari tangannya, lalu kusuapi dengan penuh cinta.
"Mi, Abam kangen main sama Boy sama Citla."
Ku lihat wajahnya mulai berubah sedih saat menyebut nama teman-temannya.
"Sabar ya. Nanti Abram pasti punya temen baru," hiburku.
Abram menggeleng.
"Temen disini jahat-jahat Mi. Abam gak suka." Jawabannya membuatku lesu.
Entah apa salah kami, sejak pindah ke sini hampir seminggu yang lalu, tak ada satu pun tetangga yang terlihat ramah. Awalnya tidak masalah karena suamiku masih menemani. Namun saat ayah Abram kembali ke luar kota melanjutkan pekerjaannya, aku mulai sedikit resah.
Mau jajan di warung, salah.
"Loh tumben kok belanja di warung kecil?."
Belanja di mall sekalian apalagi.
"Waah, yang habis ngeborong ya, duh kasian suami capek-capek kerja, istrinya bisanya cuma ngabisin duit."
Itu bahkan tidak terdengar seperti bisikan. Tapi diucapkan dengan lantang persis seperti di sinetron. Padahal uang ya uangku sendiri. Tidak minta sama mereka. Aneh kan?
"Mi, Abam kangen Papi juga, Mi."
Rengekan Abram menyadarkanku.
"Sabar ya sayang, nanti kita telepon Papi."
Kupeluk bocah belahan jiwaku itu sambil mengecup keningnya.
"Mami juga kangen sekali sama Papi," bisikku.
Kleng.. kleng.. kleng...
Itu suara pagar rumahku. Ada seseorang yang sedang mengetuknya. Aku pun melepaskan Abram dari pelukanku dan beranjak.
"Siapa?"
"Saya, Sulis mba?"
'Sulis, siapa?'
Ku buka pintu pagar perlahan dan terlihat seorang gadis sedang membawa mangkuk kaca tertutup kertas tissue.
"Ini mba, saya Sulis, ee ... tantenya Zaki," ucapnya malu-malu. Kulihat gadis itu dengan seksama. Mungkin masih SMA.
"Zaki, maaf yang mana ya?" tanyaku tak kalah malu-malu.
"Itu mba ... tadi yang ... yang main sama dedek Abam," jelasnya.
Ooh, anak nakal itu namanya Zaki? Ini tantenya mau datang minta maaf gitu? Kenapa bukan emak yang mulutnya sepedas cabe setan itu yang datang?
"Mari masuk."
Aku berbasa-basi. Kupersilahkan Sulis masuk dan duduk di sofa.
"Ini, tadi Mba Nurin masak sayur asem. Biar sekalian buat dedek Abam," jelasnya.
"Oh ... ga usah repot-repot, tapi, makasih deh ya ...."
Aku tersenyum. Begitulah emak-emak. Anak luka sedemikian rupa langsung amnesia hanya karena semangkuk sayur asem. Aku terbuai. Oh, aku baru ngeh, si cungkring tadi namanya Nurin.
"Sebentar ya, saya ambil mangkuk dulu."
Aku buru-buru mengambil mangkuk di belakang.
"Mba, maafin kakak sama ponakan saya ya?" pinta Sulis. Mangkuk yang ada di tangannya kini telah kosong. Aku mengangguk, walau hati kecilku masih sedikit ... sedikit sedih.
"Mba Nurin memang mulutnya ketus, tapi, sebenarnya hatinya baik. Dia ditinggal suaminya sebulan setelah menikah. Dia membesarkan Zaki sendirian. Mungkin itu kadang yang bikin emosinya naik turun." Sulis menatapku sendu.
Aku terdiam membayangkan pahitnya hidup Nurin selama ini. Baru sebulan menikah? Ditinggal? Eh, ternyata hamil? Pastilah berat. Aku gak akan kuat. Biar Nurin saja. Jadilah aku manggut-manggut mengakhiri sesi ini.
Setelah Sulis menghilang dari balik pagar, aku bergegas mencari Abram yang tak kunjung kudengar suaranya sejak tadi. Syukurlah. Abram tertidur di depan TV.
Tiba-tiba perutku terasa lapar membayangkan sayur asem itu. Dengan semangat ku buka tudung saji, dan mencicipi kuahnya.
"PPUUIH!!! Ini apaan sih? Pait amat!!!" Sendok pun terlempar dari genggaman.
Entah mereka sengaja atau tidak, yang jelas rasa simpatiku lenyap seketika.
=====
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Tetangga Biasa
General FictionNindi yang baru pindah rumah beberapa hari, merasa dikucilkan oleh para tetangga. Bahkan salah satu dari mereka ada yang sangat, sangat menyebalkan, yaitu seorang janda anak satu yang anaknya kebetulan hampir seumuran dengan Abram, putra Nindi satu...