"Mba, makasih loh, sayur asemnya enak."
Aku berusaha membuat suaraku terdengar akrab di telinga Nurin pagi itu. Kami kebetulan bertemu di warung Bude Sarah, tak jauh dari komplek. Dalam hati aku bertaruh, kalau dia menjawab pertanyaanku dengan baik, pastilah tragedi sayur asem sepahit hidup korban pelakor itu hanyalah sebuah ketidaksengajaan.
Namun nyatanya, Nurin hanya menjawabku dengan suara yang agak mirip dengan lenguhan sapi. Wajahnya pun terlihat seperti salah tingkah. Fix. Dia sengaja. Padahal anakku yang dibully. Anakku yang terluka. Kenapa malah aku yang harus dikerjai seperti ini? Tapi, Astaghfirullahal'adziiiim. Aku tetap tidak boleh berburuk sangka.
Kubuang muka darinya, lalu beralih ke Bude Sarah. Sebenarnya aku tidak yakin namanya Bude Sarah, hanya spanduk kecil di atas warung ini yang berkata begitu. Whatever.
"Bu, terigu setengah kilo, sama pewarna makanan ijo sama merah ya, Bu," pintaku.
Hari ini aku ingin membuat cup cake kesukaan Abram. Sebenarnya bahannya masih ada. Hanya ada beberapa yang kurang. Dengan cekatan Bude Sarah mengambilnya sambil melayani pembeli yang lain.
"Tumben belanja di warung, biasanya kudu jauh-jauh ke mall."
Sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Nurin. Kali ini, aku pura-pura tuli. Biarin. Lagian orang pintar mana yang sudi jauh-jauh ke mall cuma untuk beli tepung terigu sama pewarna. Aneh.
Lagi-lagi ia tak kuhiraukan.
Tiba-tiba muncul ide di kepalaku. Jika hanya dengan sayur asem aku bisa luluh, pastilah dengan cup cake yang cantik tetangga-tetangga songong ini akan merasakan hal yang sama.
"Bu, ga jadi setengah deh. Sekilo aja. Tambah gula pasir setengah, margarin satu ya?"
"Siap neng," jawabnya. Setelah semua belanjaan kubayar, aku bergegas pulang. Semoga Abramku masih pulas.
====
"Waah, Mi, kuenya banyak sekali ...."
Abram begitu bahagia melihat cup cake yang berbaris rapi di meja.
"Kita mau ngasih ke ibu-ibu tetangga. Yuk, bantuin Mami masukin ke kotak."
Aku memperhatikan putraku memasukkan kue itu satu persatu ke dalam kotak makanan dari kertas. Melihat gerakannya, aku yakin telapak tangannya sudah sembuh.
Aku mengunci pagar, lalu menggandeng Abram sambil membawa sekotak cup cake unyu-unyu. Cukup melewati beberapa rumah, aku dan Abram sudah sampai di ujung komplek.
Beberapa Ibu-ibu yang berkumpul di bangunan kecil seperti panggung sedang melihat ke arah kami. Ada yang gendut, kurus, sedang menyusui bayi, dan sedang menyuapi balita. Ada juga yang asyik bermain ponsel.
"Assalamualaikum Ibu-ibu ...." ucapku agak sedikit kaku. Kulihat ada Sulis di situ, tapi kakaknya, si mulut pedas tidak ada.
"Wa'alaikumsalam ...." jawab mereka hampir serempak.
"Boleh gabung yaa ...? Oh iya, maaf saya baru ngajak kenalan sekarang. Maklum, masih sibuk berbenah. Hehe ... Nama saya Nindi," tuturku. Ternyata rasanya lebih menegangkan dari pada memperkenalkan diri di depan senior-senior galak di kampus.
"Ooh, jadi namanya neng Nindi. Saya Maya. Mba Maya." Yang gendut berkata sambil mengulurkan tangan.
Oh Tuhan. Aku bahagia. Kuraih tangannya hingga tangan-tangan lain pun menjulur. Yang kurus namanya Mba Ika, yang sedang menyusui Mba Fifin, yang menyuapi balita Mba Laras, lalu yang main ponsel Mba Entin. Sedang Sulis hanya tersenyum padaku.
"Ini Mba, cobain kue buatan saya. Masih anget."
Setelah ikut duduk, kusodorkan kue itu pada mereka, dan benar saja. Mereka langsung mencomotnya satu-satu.
"Waah, neng Nindi pinter masak toh ya, pastilah disayang suami," ucap yang lagi menyusui. Eh, tadi siapa ya namanya?
Aku tersipu.
"Duuh saya jadi malu dipanggil neng, berasa masih ABG. Panggil Nindi aja mba," balasku.
"Lah, emangnya umurmu berapa?" Kali ini aku yakin itu Mba Maya.
"Bulan depan sudah 31 mba, hehe." Aku agak sensitif sebenarnya kalau masalah umur.
"Waah, tapi Mba Nindi masih imut aja yaa ... kirain baru tamat kuliah." Sulis menimpali. Sumpah. Aku tersanjung.
"Perawatannya mahal kali."
Suara sumbang Nurin tiba-tiba menusuk di telinga. Nadanya benar-benar mengejek. Entah sejak kapan dia datang.
"Ya ngga lah mba! Sayang dong uangnya, SUAMI udah capek-capek cari duit masa dibuang-buang di salon. Perawatan di rumah aja," balasku.
"Pake apa mba? Bagi tipsnya dong?"
Entah yang ini suara yang mana satu.
"Rajin cuci muka aja, trus pake krim **** . Ga mahal kok. Kalo mau beli sama aku aja, hehe. Gini-gini aku juga jualan online looh. Gak nodong SUAMI terus," jawabku. Entah kenapa rasanya aku melayang menyaksikan wajah Nurin berubah masam.
Ternyata benar. Tak kenal maka tak peduli, eh, tak sayang. Teringat betapa cueknya mereka saat anakku dibully Zaki. Berbeda sekali dengan sekarang setelah berkenalan. Mereka bahkan ikut ke rumah untuk melihat krim sakti jualanku itu. Sedangkan Nurin lebih memilih pulang.
Aku sedikit terkejut melihat Zaki si anak nakal juga masuk ke dalam rumah. Kulirik Abram yang juga sedang menatapku. Aku tau, anakku takut. Kukepalkan tangan di dada seolah memberinya semangat hingga akhirnya Abram memberanikan diri mengajak Zaki bermain bersama.
Cukup lama bercengkrama, akhirnya para tetangga itu pamit. Aku sudah senang walau hanya dua orang saja yang memesan krim wajah. Sulis dan Mba Entin.
Ada rasa lega di hati saat teringat kata-kata mba Maya bahwa aku tak perlu ambil pusing dengan Nurin.
'Mulutnya memang berbisa, tapi hatinya baik'. Hampir serupa dengan ucapan Sulis saat mengantar sayur asam. Ah, semoga benar hatinya baik.
"Bram?" panggilku.
Kucari si kecil di tengah rumah yang berantakan. Mainannya yang biasanya tertata rapi kini berceceran dimana-mana. Biarlah. Yang penting Zaki sudah tidak membully Abram lagi. Bahkan aku membungkus beberapa cup cake untuk dibawanya pulang.
"Mi, kok si Tayo ga ada Mi."
Tiba-tiba Abram menatapku dengan mimik khawatir.
"Coba cari lagi, mungkin keselip. Yuk, Mami bantu."
Berkali-kali ku obok-obok kotak mainannya, benar saja. Mainan favoritnya itu tidak ada.
Abram mulai menangis. Aku tau betul betapa sayangnya anakku pada mainan itu. Kemana-mana dibawa.
"Mi, jangan-jangan diambil Jaki," ucap Abram di sela isakannya."Hus. Gak boleh nuduh sembarangan, sayang. Besok kita beli yang baru aja ya?" bujukku. Tapi suara tangis Abram malah naik satu oktaf. Ah, apa iya diambil Zaki?
Kugendong Abram sambil menghapal beberapa kalimat dalam kepala. Takut kalau Nurin kembali meradang. Paling tidak aku harus bertanya apa mainan itu tak sengaja terbawa oleh Zaki.
Namun begitu kakiku hampir tiba di rumahnya, aku melihat Zaki menjerit-jerit menangis sambil melompat untuk meraih sesuatu dari tangan Nurin. Sesuatu itu, adalah bungkusan cup cake yang kuberikan tadi.
"JANGAN!!! INI PASTI BERACUN," teriaknya. Lalu kulihat bungkusan itu dilemparkan ke ember cat besar di dekat sebuah gerobak bertulisan 'nasi uduk', di teras rumahnya. Pastilah itu tempat sampah.
Ya ampun, beracun? Sejahat itukah aku di matanya? Tega sekali dia menuduhku.
Dadaku bergemuruh. Sepertinya aku harus mengurungkan niat untuk menanyakan si Tayo.
"Zakinya sekarang lagi sedih, besok aja kita tanyain ya?" Aku kembali membujuk Abram dalam gendonganku. Namun bibir mungilnya malah semakin menekuk ke bawah.
====
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Tetangga Biasa
Ficción GeneralNindi yang baru pindah rumah beberapa hari, merasa dikucilkan oleh para tetangga. Bahkan salah satu dari mereka ada yang sangat, sangat menyebalkan, yaitu seorang janda anak satu yang anaknya kebetulan hampir seumuran dengan Abram, putra Nindi satu...