Bagian 7. Perhatian

240 16 0
                                    

Suara kicauan burung, seakan menjadi musik pengiring saat mendapati bukan sosok diriku yang ada di pantulan cermin. Melainkan seekor panda. Semalaman aku tidak tidur. Kepala benar-benar pusing saat ini.

Kutarik laci meja perlahan untuk mengambil sebuah kotak berukuran sedang. Kubuka, lalu kupisahkan sebutir obat sakit kepala dari teman-temannya. Kemudian, kuminum seketika.

"Mami sakit ya, kok minum obat?"

Abram terlihat khawatir. Ia mendekat dan merogoh termometer dari dalam kotak.

"Sini keteknya Mi, bial Abam ukul panasnya," ujarnya menirukan gayaku.

"Mami cuma pusing aja kok Bram."

Aku tersenyum sambil mengelus pipi gembilnya.

Pippipp.. pippipp ....

"Tuh, berapa coba demamnya?"

Aku menguji Abram. Geli rasanya melihat wajahnya yang serius membaca angka yang tertera di sana.

"Tiga sama delapan kan Mi?" Akhirnya ia menjawab.

"Mami ga demam kok, yuk mandi. Bentar lagi Mami bikinin sarapan." Bukannya beranjak, Abram malah menatap lurus ke arah mataku.

"Mami ... jangan sakit ya Mi .... Abam sayang Mami!" Abram mendekat, kemudian memelukku erat.

🌸🌸🌸

Pukul delapan pagi, aku dan Abram sudah selesai sarapan bersama. Setelah sedikit membereskan rumah, aku ikut duduk menemaninya menonton TV. Kuperhatikan pundak kecilnya yang sesekali naik turun seiring dengan suara tawa yang renyah. Hmm, cepat sekali waktu berlalu. Rasanya baru kemarin mulut kecilnya asik mengenyot payudaraku. Sekarang ia sudah semakin besar. Semakin mirip dengan Mas Levi.

Mas Levi?

Kukeluarkan ponsel dari saku daster, ternyata masih sama seperti saat dimasukkan setengah jam lalu. Polos dan lucu, tanpa pemberitahuan apapun.

Mungkin ini masih terlalu pagi bagi Mas Levi untuk bicara serius denganku. Ya, mengingat pesannya yang tak seperti biasa, naluriku berkata akan ada hal serius yang akan ia sampaikan. Seserius apakah? Kenapa aku terlalu takut untuk menebak-nebak?

Dari pada melamun, lebih baik aku melepon bengkel. Aku harus melunasi sisa pembayaran.

"Sebentar ya sayang, Mami mau telpon dulu."

Aku berdiri dan meninggalkan Abram yang masih larut dengan film kartunnya. Abram hanya melirik sebentar dan mengangguk mengiyakan.

Bokong kududukkan di ujung ranjang. Setelah menyalin nomor telepon yang tercantum di bon, aku mengetuk tanda panggil.

"Hallo, selamat pagi? ada yang bisa di bantu?" Seorang wanita menjawab pada dengungan ke tiga.

"Selamat Pagi, saya Nindi, mobil saya sudah diantar sama Pak Fathur kemarin siang. Saya mau minta nomor rekeningnya dong? Sisa tagihannya belum saya lunasi," jelasku.

"Sebentar ya Bu, Mobilnya type apa ya Bu?"

"Pajero Sport warna ...."

"Hallo, Nindi?"

Aku terkejut. Suara wanita di seberang sana tiba-tiba berubah menjadi suara pria.

Apa ini Mas Fathur?

"Ndi...?" Panggilnya lagi.

"Iya Mas, itu ... Sisa tagihannya belum saya bayar."

"Oh, Gapapa ... Saya kasih diskon."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 22, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bukan Tetangga BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang