Aku tidak tau bagaimana lagi cara membujuk Abram. Ia masih uring-uringan walau sudah kuajak berkeliling toko mainan malam itu. Semua mainan yang kutawarkan ditolak olehnya.
"Abam ga mau. Abam maunya tayo itu. Itu kan dibeliin nenek. Yang ini bukan tayo Abam," ujarnya lantang. Matanya memerah karena sudah hampir dua jam menangis. Mau tidak mau besok aku harus ke rumah Nurin. Tetap kubeli satu set mainan bis warna warni itu. Barangkali Zaki mau menukarnya dengan ini, itupun kalau benar Zaki yang membawanya.
Setelah turun dari taxi online, aku membopong tubuh Abram yang tertidur. Tak lupa kutenteng tas kecil berisi dompet dan mainan. Sial. Susah sekali membuka pagar dengan kondisi begini.
"Dari mana neng?"
Seseorang mengagetkanku hingga kunci pagar terlepas dari tangan. Ternyata Mba Maya. Bergegas Ia menghampiri, mengambil kunci yang tercecer lalu membantu membukakan pagar.
"Duh, makasih banyak mba," ujarku. Terasa sekali bahwa perhatian tetangga itu mampu membuatku berbinar-binar. Oh mba Maya, kau adalah Legend Hero malam ini.
"Kalian dari mana kok pulang malem begini?" ulangnya.
"Dari toko mainan, Mba. Mainannya hilang, sudah saya ajak beli yang lain dianya gak mau. Sampe bingung saya mau nyari kemana lagi," jawabku seadanya.
Mba Maya manggut-manggut lalu tiba-tiba matanya membulat, "Apa jangan-jangan diambil Zaki?" Wajahnya terlihat sedang menduga-duga.
"Ih, ga mungkin lah mba ...." sergahku. Walau hati ini juga berkata hal yang sama, aku tetap tak ingin orang lain tau.
"Tapi anaknya memang suka ngutil loh neng, nanti deh coba tak tanyain."
"Duh ... Jangan, Mba, biarin aja. Harganya juga gak seberapa. Saya males nanti jadi perkara lagi." Aku setengah memohon. Kalaupun harus menanyakan langsung, biar aku saja. Takut ditambah-tambahi micin nantinya.Mba Maya manggut-manggut. Setelah melepas kepergiannya, aku pun masuk ke dalam rumah.
====
Di saat seperti ini, aku langsung teringat Papinya Abram. Hanya dialah yang bisa membujuk anaknya yang keras kepala.
Kukecup kening lelaki kecilku, lalu kuredupkan lampu kamar. Aku bergegas mandi dan bersiap-siap tidur.
"Mas, aku dan Abram kangen."
Jariku menari di layar ponsel, mengetik sebuah pesan untuk Mas Levi, suamiku. Aku cukup jarang mengirimnya pesan atau menelpon walau sekedar bertanya sudah makan atau belum seperti pasangan LDR lain. Aku tak ingin mengganggu.
Aku juga tak mau disebut istri cengeng atau manja. Makanya jika ada masalah, sebisanya aku selesaikan sendiri. Memang terkadang bayang-bayang pelakor cukup membuat takut. Tapi, aku percaya pada Mas Levi seperti dia percaya padaku. Dia bukan tipe laki-laki murahan.
"Sama, sayang. Lusa Mas pulang. Abram sudah tidur?"
Dia membalas."Sudah. Hari ini Abram rewel mas.. mainannya hilang. Gak mau dibelikan yang baru," curhatku.
"Hehe.. keras kepalanya mirip kamu😍"
Lebaykah aku, jika hanya karena sebuah emoticon, pipiku terasa hangat?
"Enak aja ..😒."
"Istirahat ya sayaang... Lusa Mas pulang bawa kejutan. Mas libur tiga hari, nanti kita jalan-jalan sama kangen-kangenan ya?😍😍😍"
Aku menahan napas. Ah, pintar sekali Mas Levi merayu. Lalu kuakhiri percakapan kami.
"Oke, see you,..😘😘😘"
_____

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Tetangga Biasa
General FictionNindi yang baru pindah rumah beberapa hari, merasa dikucilkan oleh para tetangga. Bahkan salah satu dari mereka ada yang sangat, sangat menyebalkan, yaitu seorang janda anak satu yang anaknya kebetulan hampir seumuran dengan Abram, putra Nindi satu...