"Masa sih, Nindi tega nerima uang kamu, Rin? Empat ratus ribu lagi, ya Tuhan ... ga nyangka dia setega itu."
Cess...
Jantungku nyeri mendengar celoteh Mba Fifin pagi itu. Aku yang tepat di belakang mereka benar-benar mendengarnya dengan jelas. Sangat jelas.
"Padahal tau sendiri ya, jual nasi uduk untungnya seberapa," timpal seseorang. Dan seseorang itu adalah Nurin sendiri. Orang yang dengan bangganya menyerahkan empat ratus ribu miliknya padaku, lalu kini ia memasang wajah menderita seperti korban perampokan.
"Ehheeem..."
Aku berdehem. Sontak semuanya langsung terdiam.
"Loh, bukannya kemarin Mba Nurin yang dengan senang hati mau tanggung jawab. Kok sekarang kayak saya yang tegaan yah? Kalo keberatan, nih, uangnya saya balikin aja. Gapapa kok."
Kurogoh uang miliknya yang yang masih standby di dompet dengan kasar hingga beberapa benda terjatuh.
"Nih. Ambil. Sumpah aku ikhlas kok," ujarku lagi.
Ikhlas? No! Mungkin kemarin iya tapi sekarang cuma sakit hati yang terasa.
Wajah Nurin terlihat kaku. Setelah kembali melenguh seperti sapi, ia berlalu begitu saja hingga Bude Sarah memanggilnya, "Hei ... Nurin ... itu belanjaanmu belum dibayar toh?"
"Loh ini bon bengkelnya ya, mba? Kok uang mukanya aja udah satu juta?"
Aku lupa ada beberapa remah dompetku yang berceceran. Ternyata bon itu salah satunya. Kuambil kertas itu dari tangan Mba Fifin, lalu ku kembalikan ke dalam dompet cepat-cepat.
"Bude, mi telur dua bungkus ya, sama saos sambel, tomat, sosis, bakso ..."
Aku berusaha menetralkan situasi sebab Nurin kembali berdiri tepat di sampingku. Kulihat tangannya sedikit gemetar menyerahkan uang ke tangan Bude Sarah.
"Ya elah Rin, kalo ini mah neng Nindi bukan tega namanya. DPnya aja sejuta," ledek Mba Fifin sambil cengengesan membuat wajah Nurin semakin mengkal.
"Puas kamu!!?" belum padaku. Tanpa menunggu jawaban, ia kembali berlalu.
Puas? Apanya yang puas? Uang belanjaku hampir habis. Belum lagi kalau suamiku tau. Heh. Sudahlah. Tanpa banyak bicara aku pun berlalu meninggalkan Mba Fifin yang masih sempat mengatakan, "Jangan diambil hati ya Ndi, dia emang gitu orangnya. Saya hampir aja percaya, hahaha."
"Ayo Bram!!!"
"Iya Mi..."
Abram yang kutinggalkan di panggung rumpi dengan beberapa ibu-ibu, segera menghampiriku.
"Mami kok mukanya kayak habis malah-malah?"
===="Mi, Selingkuh itu apa sih?"
Tiba-tiba Abram menghampiriku di dapur. Pertanyaannya cukup membuat perutku mulas. Ya ampun, tau dari mana dia istilah ini? Apa bocah ini habis nonton sinetron?
Api kompor kukecilkan. Lalu aku menunduk menatapnya.
"Abram dengar dari mana?" selidikku.
"Tadi waktu Mami tinggal belanja, ada yang bilang, kok Papa kamu gak pulang tiap hali, jangan-jangan selingkuh, gitu Mi."
Astaghfirullahal'adziiiim. Mulut siapa lagi itu?
"Terus, Abram jawab apa?"
"Abam bilang, Abam gak punya Papa, adanya Papi," jawabnya polos.
"Memang selingkuh itu apa Mi, sepelti nakal ya?" sambungnya.
Aku berfikir, mencoba mencari jawaban yang tepat. Tapi karena terlanjur emosi, jawaban itu tak kunjung kutemukan. Siapa yang bertanya seperti itu pada anak yang masih terhitung balita? Apa otaknya masih berfungsi?

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Tetangga Biasa
General FictionNindi yang baru pindah rumah beberapa hari, merasa dikucilkan oleh para tetangga. Bahkan salah satu dari mereka ada yang sangat, sangat menyebalkan, yaitu seorang janda anak satu yang anaknya kebetulan hampir seumuran dengan Abram, putra Nindi satu...