"Nek, coba liat nih si Tayo Abam. Udah jadi mumi Nek."
Abram yang dari pagi asik bermain dengan teman-teman lamanya akhirnya ingat kalau neneknya belum tau soal si Tayo.
"Ya Ampuun ... Kok jadi jelek gini, sayang?" Mertuaku terlihat prihatin. Ekspresinya cukup meyakinkan.
"Ini dibanting sama Jaki Nek."
"Siapa Jaki, temen Abram?"
"Bukan Nek. Abam gak mau temenan sama Jaki, jahat."
"Hus, sayang, gak boleh gitu." Aku mengerucutkan bibirku.
"Kalian sih, pake acara pindah. Udah enak tinggal deket rumah Nenek. Temen disini baik-baik kan?" Mama mertuaku mulai mengompor-ngompori cucunya.
"Iya Mi, kita balik lagi aja ke lumah lama ...."
Tuh kan, Abram mewek, deh.
"Ga bisa sayang, rumahnya udah ada yang ngontrak," jawabku.
Aku juga sebenarnya tak ingin pindah. Siapa yang ingin jauh-jauh dari mama mertua yang luar biasa ini? Baik, hangat, dan memperlakukanku seperti anak sendiri. Sejak kecil aku sudah yatim piatu. Makanya, kasih sayang mama mertua bagaikan mata air di padang pasir bagiku. Ah, andai Papa mertua masih ada. Pasti beliau juga akan sayang padaku.
Mas Levi akan dipindahkan ke kantor cabang baru yang tak jauh dari rumah baru kami itu. Itulah alasannya. Terlalu jauh nantinya kalau Mas Levi harus bolak balik ngantor dari rumah kami yang lama.
Ah, tiga hari terasa begitu cepat. Sore nanti kami harus kembali.
"Kalian di sini aja, ngapain pake pulang? Toh Papinya Abram besok udah berangkat lagi." Mama kembali merayu.
"Nindi harus terbiasa di sana Ma," jawab Mas Levi.
"Ah itu mah gampang. Lagian kantormu pindahnya masih sebulan lagi." Mama terlihat gemas.
Mas Levi beralih menatapku seakan memberi peluang mengambil keputusan. Aku bimbang.
"Lain kali aja ya Ma, Nindi belum nyiapin keperluan Mas Levi," jawabku. Abram dan Mama terlihat kecewa.
====Aku berharap waktu bisa berhenti, dan memberiku kesempatan menikmati hangatnya berada dalam dekapan suamiku sedikit lebih lama. Dua jam lagi, alarm subuh akan berbunyi.
Seakan mengerti kegelisahan yang kurasakan, Mas Levi meregangkan pelukan dan menarik daguku agar mata kami bisa saling menatap.
"Sebentar lagi, kita akan bisa seperti ini setiap malam, sampai kita jadi tua ..." bisiknya.
Ada rasa hangat menjalar di tubuh saat mendengarnya. Saat ini, aku pastilah wanita paling bahagia sedunia.
Melihat mataku yang berbinar-binar, ia tersenyum. Matanya terlihat sedikit sipit akibat menahan kantuk.
"Aku bahagia punya kamu, Mas," ujarku manjah. Memang lagi manjah.
Mas Levi mengerang seraya merapatkan kembali tubuhnya dengan tubuhku. Selang beberapa menit, dengkuran halusnya kembali berirama.Kuhirup aroma tubuhnya sepenuh paru-paru. Ah, andai bisa disimpan saja tanpa perlu dihembuskan.
=====Pukul delapan pagi, Mas Levi sudah berangkat ke bandara dengan taksi online. Kali ini ia ke kantor pusat di Singapore, menginap beberapa hari lalu kembali bekerja di kantor yang biasanya, di kota sebelah.
"Jaga mobilnya ya Mi, awas jangan ada lecet. Jangan coba-coba nyetir sendiri keluyuran," titahnya. Aku yang berharap bisa mencoba seberapa asiknya menyetir Pajero Sport langsung kecewa seketika.
Dan Inilah sesi terberat setiap Mas Levi pergi lagi. Yaitu menenangkan anaknya yang tak rela ditinggal. Segala bujuk dan rayuan tidak akan membuatnya berhenti merengek sampai seharian.
Tapi kali ini ternyata berbeda. Siangnya, Abram terlihat sudah ceria kembali. "Waah, anak Mami udah tambah pinter, udah gak cengeng lagi," pujiku.
"Iya dong Mi, Abam ga boleh cengeng. Jaki yang gak punya Papi aja gak cengeng," celotehnya.Ah, Zaki, Nurin, sudah tiga hari kami tidak face to face. Apa kabar mereka?
====Dua hari berlalu begitu saja. Tanpa Mas Levi, siang seperti enggan menjadi malam, juga sebaliknya. Rasa bosan kian menggelitik di hati.
Hari ini aku membiarkan Abram bermain tak jauh dari pekarangan rumah. Aku yang sedang menyetrika sesekali mengintip dari balik jendela. Ternyata Abram main dengan Zaki dan seorang anak perempuan lain.
Sesekali terdengar suara tawa lengking mereka. Aku senang, akhirnya anakku bisa bersosialisasi. Namun hanya beberapa menit, anakku sudah berteriak histeris. Aku langsung kalang kabut menghampiri mereka setelah mematikan setrikaan.
"Mi ... tuh liat Mobil Papi dicolet Jaki pake paku. Abam udah bilang jangan tapi Jaki nakal Mi!"
Tungkaiku langsung lemas seketika. Ya Allah, goresannya panjang sekali. Mungkin ada 30cm dengan gambar yang tak berbentuk. Mas Levi bisa murka melihat ini. Aku kudu piye?
Kulirik wajah Zaki yang mulai ketakutan. Aku tau, anak seumur mereka belum mengerti bahwa mobil ini lumayan mehong. Apa aku harus memberitahu Nurin? Bagaimana kalau aku perbaiki saja dengan sisa uang belanja?
Sementara aku sibuk berfikir, Zaki sudah menghilang. Begitu juga dengan anak perempuan yang satunya. Tinggalah aku dan Abram yang saling menatap kebingungan.
Aku berfikir keras sambil mencoba menghapus coretan itu dengan kanebo. Jiah. Tidak ada efeknya. Mau tidak mau aku harus segera mengantar mobil ini ke bengkel cat.
"Bisa selesai cepat kan Pak?" tanyaku pada seorang karyawan bengkel. Bengkel itu tak jauh dari rumah. Hanya saja, ini bengkel resmi. Pastilah harga nya sedikit lebih mahal.
"Paling cepat empat hari, Bu. Paling lama dua Minggu." Jawabannya membuatku tertekan. Belum lagi biayanya yang ditaksir bisa 1,5 juta lebih. Habis sudah uang belanjaku.
Aku meminta diturunkan di panggung rumpi pada supir taksi online. Aku harus bicara dengan Nurin. Tapi, apa nanti Zaki akan dipukuli lagi? Atau malah aku yang dimaki? Bagaimana ini? Aku masih berdebat dengan diriku sendiri. Uang segitu sebenarnya cukup berharga bagiku. Tapi, bagaimana dengan Nurin yang hanya penjual nasi uduk?
"Mi, katanya tadi kita mau ke rumah Jaki?" Abram menyadarkanku.
"NINDIII....!!! " Belum sempat aku menjawab Abram, Nurin sudah datang dengan tergopoh-gopoh, seperti waktu itu. Wajahnya pun masih sama sangarnya.
"Berapa? Berapa biayanya?" todongnya. Sepertinya Zaki sudah mengaku padanya.
"Hmm ... Mba Nurin, sebenarnya aku ngerti Zaki gak sengaja, tapi..."
"Heleh, gak usah basa basi! Aku masih mampu kok bayar ganti rugi!" Dia menatapku tajam.
"Katanya sih kira-kira ... delapan ratus ribu, Mba." Aku berbohong.
"Apa? Semahal itu? Kamu kok tega amat ngambil untung?"
Noh kan, sudah dikurangi hampir separo saja masih dibilang ambil untung.
"Kamu tadi bilang Zaki gak sengaja kan, ya udah aku mau bayar separo aja. Nih, empat ratus." Dengan kasar ia sodorkan empat lembar uang seratus ribu yang sudah lecek.
"Kenapa, kurang?" tambahnya.
Sumpah. Caranya menatapku sekarang seperti aku sedang meminta sumbangan. Dengan berat hati aku ambil uang itu. Lalu kutarik pelan lengan Abram untuk segera pulang.
"Ya ampun, gak bisa ya bilang makasih?"
Masih saja suara sumbang itu terdengar. Aku berbalik sesaat, lalu mepasang senyum ear to ear.
"Makasih, Mba Nurin ... sudah mau bertanggung jawab."
====

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Tetangga Biasa
General FictionNindi yang baru pindah rumah beberapa hari, merasa dikucilkan oleh para tetangga. Bahkan salah satu dari mereka ada yang sangat, sangat menyebalkan, yaitu seorang janda anak satu yang anaknya kebetulan hampir seumuran dengan Abram, putra Nindi satu...