Seharian kemarin aku benar-benar lelah. Lelah dengan pertengkaranku dengan Nurin, membopong Abram yang sudah cukup berat kesana kemari agar ia tenang, lalu membereskan kamar yang seperti terkena bom. Namun aku bersyukur sekali Abram tidak demam lagi.
Hari ini Mas Levi pulang. Mungkin siang nanti. Aku harus belanja dan masak enak untuknya.
Pagi ini, aku harus belanja ke Bude Sarah. Namun saat melewati rumah Nurin, kakiku mendadak berhenti.
'Nurin, mengapa aku merasa Tuhan tidak adil padamu?'
Di sinilah aku sedang menatap wanita kurus itu. Di dekat panggung rumpi. Tangannya yang tak berdaging terlihat sangat cekatan membungkus nasi uduk yang sedang di tunggu beberapa pembeli.
Dadaku sesak. Semua kalimat-kalimat pedasnya kemarin siang menguap begitu saja. Kasihan, nasibnya jauh berbeda denganku. Ya Allah, entah apa yang akan terjadi jika aku yang ada di posisinya.
Aku membayangkan betapa payahnya Nurin saat sedang mengandung. Betapa pedih hatinya saat melahirkan sendirian. Betapa sulitnya mencari nafkah sambil membesarkan Zaki tanpa sosok suami. Kemana suaminya? Tak terasa netraku menghangat, lalu air yang dibendungnya meluap perlahan.
"Mi, Abam mau nasi uduk, boleh, Mi?"
Aku menoleh. Ternyata Abram juga sedang memperhatikan Nurin. Syukurlah kalau Abram tidak takut melihatnya sebab aku yakin, Abram juga menyaksikan Nurin menampar Zaki siang itu. Aku mengerutkan kening sembari membayangkan seperti apa reaksi Nurin jika aku datang membeli dagangannya. Tidak. Aku tak ingin menambah masalah lagi.
"Gimana kalau nanti Mami buatin nasi goreng?" Aku menawar, Abram pun mengangguk.
Tiba-tiba aku berada dalam situasi aneh. Tanpa sengaja, mataku sedang beradu pandang dengan Nurin. Aku merinding. Sulit membaca ekspresi yang ia tampilkan. Bukan seperti 'ngapain Lo liatin gue?' atau semacamnya. Entahlah. Kuraih kembali tangan Abram, dan kami lanjut melangkah ke warung Bude Sarah.
=====Pukul sebelas siang, rumahku sudang kinclong. Masakanku juga sudah berjejer di meja makan. Abram sedang tidur siang. Saatnya mandi dan istirahat sejenak.
Deru mobil membuatku menahan langkah ke kamar mandi. Itu bukan suara mobil Mas Levi, tapi suaranya tepat di depan rumah. Siapakah?
Aku mengintip dari balik tirai jendela. Sebuah Pajero Sport warna hitam mengkilat masih berdengung tak jauh dari pagar. Seseorang keluar dari sana. Ya Tuhan, itu suamiku. Ada petir di balik dada melihat sosoknya yang kian mendekat dan membuka pagar dengan kunci miliknya. Kaos hitam ketat yang ia pakai membuat lekuk tubuhnya kelihatan.
Aku memandang bayanganku di pantulan kaca jendela. Sangat berantakan. Ah, aku malu sekali jika suamiku melihatku seperti ini. Aku segera berlari ke kamar mandi.
Aku menajamkan telinga sambil mengguyur tubuh dengan air, lalu buru-buru menyabuni tubuh yang bau bawang.
Beberapa menit berlalu. aku heran, kenapa tidak ada suara? Perlahan aku membuka pintu untuk mengintip apa Mas Levi sudah di dalam rumah. Namun gayung di tangan terlepas saat orang yang kumaksud sedang berdiri di balik pintu.
Saat aku cepat-cepat menutup, saat itu pula ia membuka pintunya lebar-lebar dan memaksa masuk. Beginilah suamiku. Kadang aku suka dengan hubungan LDR ini, karena setiap kali bertemu, ia akan selalu meluapkan rindunya yang meledak meletup.
Tubuh kekar yang masih berbaju itu memelukku erat.
"Sayang ... Mas mau mandi juga." Ia berbisik tepat di telingaku. Aku tersenyum manis dan menurut mengiringi permainannya.
===="Ma ... maaf, Mba, tadi pagarnya gak dikunci, jadi saya masuk."
Sulis terlihat salah tingkah menyaksikan aku dan Mas Levi keluar kamar mandi bersamaan. Mas Levi yang telanjang dada hanya mengangguk lalu kabur ke dalam kamar.
"Oh ... eh ... Ada apa Lis?"
Aku pun salah tingkah. Kurasakan wajah memanas seutuhnya, tak ingin rasanya gadis di depanku ini membayangkan apa yang baru saja terjadi.
"Saya mau bayar krim wajahnya, Mba," jawab Sulis.
"Oh, iya duduk Lis."
Aku membetulkan baju handuk yang melekat seadanya di tubuh.
Zaki yang dari tadi bersembunyi di belakang tantenya, beringsut perlahan agar bisa menatapku.
"Ta ... Tante ... Jaki mau minta maaf sama Abam," ucapnya. Aku tau, bagi seorang anak kecil, meminta maaf bukanlah hal yang mudah.
"Abramnya lagi bobok, nanti Tante sampaikan ya ...? Oh iya, mainan yang kemaren!" Aku berbalik dan mengambil sesuatu dari keranjang mainan Abram, lalu aku serahkan pada Zaki.
"Tapi, Mba...?" Sulis terlihat ragu.
"Ini hadiah dari Tante, karena Zaki udah berani minta maaf. Bilang sama ibuk ini hadiah ya? Sampaikan salam Tante sama Ibuk."
Zaki melirik Sulis, lalu Sulis mengangguk. Dengan senyum mengembang, Zaki mengambil benda itu dari tanganku.
"Waah ... Papiii ... udah pulang, kok gak bangunin Abam?"
Suara Abram terdengar begitu nyaring. Aku tau ia pasti langsung menggelayuti Papinya.
Pintu kamar terbuka. Abram yang sedang duduk di pundak Mas Levi terlihat begitu bahagia.
"Mi ... Lihat ... Abam tinggi Mi....."
"Hati-hati ih, nanti jatuh!" Aku gamang melihatnya.
Pandangan kembali beralih pada Sulis dan Zaki yang sedang duduk di sofa. Sulis menyodorkan dua lembar uang lima puluh ribu. Dengan malu-malu aku mengambilnya.
"Bulik Lis ... Jaki ... juga mau punya ayah, kayak Abam."
Spontan aku dan Sulis langsung memandang Zaki. Mata bocah itu berkaca-kaca. Bibirnya menekuk dan tangannya memeluk mainan itu semakin erat.
Ya Tuhan, aku tak tahan melihatnya. Mata pun menghangat. Sejurus kemudian, Sulis langsung pamit sambil menggendong Zaki yang mulai terisak.
Aku masih bisa mendengar Zaki berbicara dalam tangisnya.
"Bulik Lis ... Ayah Jaki mana? Kenapa ayah Abam pulang tapi ayah Jaki ngga? Hu ... hu .... hu ...."
Aku dan Mas Levi berpandangan. Lalu terdengar suara pagar yang ditutup.
====="Kasihan sekali dong ya ...."
Mas Levi mengomentari ceritaku yang panjang lebar hanya dengan satu kalimat. Aku tidak menceritakan mulut pedas Nurin, hanya tentang hidupnya yang menjanda saja.
Melihat bibirku yang meruncing, Mas Levi bertanya, "Memang suaminya gak pernah ngasih nafkah, ya?"
"Aku gak tau. Gak berani nanya," jawabku. Mas Levi manggut-manggut.
"Eh, itu mobil siapa? Mobil kita kemana Mas?"
"Itu mobil temen Mas, kami tukeran. Dia lagi butuh uang sedikit. Jadi dia kasih itu buat jaminannya," jelasnya.
"Pi, hari ini kita kemana?" Abram muncul dari kamar mandi dengan lilitan handuk. Anakku kadang sudah bisa mandi sendiri.
"Anak Papi maunya kemana?" Mas Levi mengedipkan matanya, bukan pada Abram, tapi padaku. Heh.
"Belenang? Boleh?" Abram bersemangat.
"Tentu. Nanti habis Zuhur kita pergi berenang." Jawaban Mas Levi membuat Abram melompat-lompat hingga handuknya terlepas.
"Mas, boleh gak aku ajak anak tetangga tadi?" Aku menatap Mas Levi serius.
"No! Mas cuma mau sama kalian." Mas Levi beranjak dari meja makan dan berlalu meninggalkanku.
=====

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Tetangga Biasa
General FictionNindi yang baru pindah rumah beberapa hari, merasa dikucilkan oleh para tetangga. Bahkan salah satu dari mereka ada yang sangat, sangat menyebalkan, yaitu seorang janda anak satu yang anaknya kebetulan hampir seumuran dengan Abram, putra Nindi satu...