Part 1

6.7K 378 2
                                    

Ada yang bilang di dalam sebuah keluarga kita bisa menemukan rumah dan merasakan kenyamanan serta keharmonisan.

Iqbaal tidak setuju dengan itu. Saat ia berumur sepuluh tahun, orang tuanya disibukkan dengan bisnisnya di luar negeri. Jika boleh Iqbaal jujur, ia tak butuh fasilitas yang mewah dan uang jutaan rupiah yang dikirim orang tuanya setiap bulan. Ia hanya butuh kasih sayang orang tuanya, tidak lebih.

Seperti saat ini. Iqbaal hanya ditemani oleh pembantu rumah tangga yang sudah dibayar oleh orang tuanya, panggil saja ia Bi Inah. Wanita paruh baya yang sudah ia anggap sebagai ibunya, karena Bi Inah sudah merawat Iqbaal sedari ia kecil sampai remaja sekarang dan menemaninya saat orang tuanya disibukkan dengan pekerjaan diluar sana. Iqbaal menyantap sarapan paginya sendiri. Mengisi perutnya dengan roti selai coklat sebelum ia memulai aktivitas. Setelah selesai, Ia langsung mengambil tas yang ia letakkan di sofa ruang tamu lalu menyampirkan di bahu kanannya. Matanya menatap ke arah bingkai foto yang terletak di dekat televisi, disana terdapat foto kedua orang tuanya yang berdiri diantara dirinya dan gadis kecil yang sedang tertawa bahagia. Iqbaal rindu masa-masa itu.

“Sudah mau berangkat Baal?”

Suara dari Bi Inah membuyarkan lamunannya. Bukannya tidak sopan, tetapi Iqbaal sendiri yang memerintahkan Bi Inah bahwa memanggil Iqbaal dengan nama panggilannya saja.

Iqbaal menoleh, “Sudah.” Katanya.

“Yasudah berangkat atuh nanti telat.” Ucap Bi Inah sambil memandang wajah sendu Iqbaal. Bi Inah mengetahui bahwa Iqbaal rindu kedua orang tuanya. Pulang ke rumah satu bulan sekali, itu saja belum pasti. Terkadang mereka justru dua bulan berturut-turut tidak pulang untuk menjenguk anak-anaknya.

“Iqbaal berangkat dulu ya Bi.”

Setelah berpamitan pada Bi Inah, Iqbaal langsung berangkat dengan motor miliknya. Mengendarai motor dengan kecepatan rata-rata sambil menikmati hembusan angin yang menerpa kulitnya dan melihat kendaraan yang berlalu lalang. Tak memerlukan waktu yang cukup lama Iqbaal sudah sampai di SMA Tunas Bangsa. Memasuki gerbang sambil tersenyum manis ke arah  satpam yang sedang meminum kopi dan tebar pesona ke siswi yang baru saja memasuki area sekolah lalu melajukan motor ke arah parkiran sekolah.

Sambil mengaduk-aduk isi tasnya, Iqbaal berjalan santai di koridor sekolah menuju ke ruang guru.

Nah ketemu!

Dengan cepat ia membuka bungkus permen karet yang ia ambil dari tas dan membuang bungkus itu ke sembarang arah. Memasukkan permen karet yang sudah ia buka tadi ke dalam mulutnya dan ia kunyah perlahan. Merasakan sensasi manis dan kelembutan yang ada di permen itu. Sejak ia duduk di bangku kelas satu sekolah menengah pertama, Iqbaal sudah mengklaim bahwa permen karet adalah makanan kesukaannya.

“Pacar gue itu.”

“Ebuset! Ganteng banget.”

“Itu murid barunya?”

“Dia ngeliatin gue woy.”

“Pede banget lo.”

“gantengan juga gue.”

Iqbaal mengabaikan semua celotehan siswa-siswi yang berlalu lalang di koridor, ia lebih memilih untuk memasang earphone di telinganya untuk mendengarkan lagu favoritnya. Tunggu, Kenapa suara lagunya tidak terdegar? Iqbaal bertanya-tanya di dalam hatinya. Mengambil handphone yang berada di saku celana dan tiba-tiba tertawa sendiri. Pantas saja, ternyata kabel earphone tidak tersambung di handphonenya. Dasar Iqbaal!

Bersambung

Possesive Boyfriend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang