8_Reveal The Truth

135 41 19
                                    

"Jangan sedih, wahai kawanku. Kamu harus bersenang-senang tanpa kami woohooo!!" Bryan bersorak sambil melambaikan tangannya tinggi.

"Bisakah jangan menyebalkan seolah aku yang paling menyedihkan di dunia!!" gerutu Alyce melihat sombongnya dua sahabat yang baru saja bebas dari tekanan tugas deadline.

"Hahaha! Sewaktu-waktu aku akan mengajakmu ke sana dan belanja semua yang kamu mau." Badannya membalik menghadap ke arah Alyce sebelum dirinya semakin jauh.

"Janji adalah hutang-"

"Dan hutang harus di bayar. Sampai nanti Alyce dan semoga kamu cepat mempunyai jodoh hahaha." Dia terkejut dan Bryan langsung masuk ke dalam mobil. Senyumnya memudar setelah sahabat laki-lakinya adalah orang terakhir yang meninggalkannya.

"Kak...." Wajah ditekuk kesal karena panggilannya tadi diabaikan. "Untung aku masih sayang, coba kalau tidak. Ini mau pulang atau menginap? Semuanya sudah selesai loh kak, tapi mereka masih ingin menghabiskan lagu pop terakhir, apa kak-"

"Aku mau pergi, kamu mau ikut?" Dirinya menatap Erhard yang perlahan melonggarkan pelukan lengannya di pinggang Alyce.

"Tapi baju kakak bagaimana? Memangnya gaun ini untuk kakak?"

"Ah iya, tapi kata staff yang meriasku kalau gaun ini kado untukku." Dia tertawa menang, keberuntungan sedang berdamai padanya. Erhard berdecih, sudah biasa melihat kakaknya langsung bertingkah di luar dugaan.

Sebelum kembali ke rumah, mereka berdua harus berpamitan kepada orang-orang suruhan Prof. Richard dan dua artis dari Korea Selatan di ruangan. Tapi seorang staff menghalanginya lalu mengatakan jika Alyce diharuskan pergi sekarang yang mana tidak ada seorang pun untuk berpamitan. Jujur saja Erhard tidak tahu maksud dari staff barusan sampai terlihat perubahan ekspresi Alyce seolah kehilangan kesempatan emas. Niall menangkap kejadian tersebut, mengernyitkan alis tidak begitu memahami apa yang telah disampaikan staff kepada Alyce. Ia menghela napas lalu berbalik dan mendapati Elliana juga Bundanya berdiri di belakang.

Ketiganya melempar senyuman manis, Niall yang hidup mandiri bukan berarti ada masalah pada keluarganya tetapi pilihannya sudah diputuskan. Ayah mereka sudah cukup lama di Jepang memenuhi urusan perusahaan sehingga jarang sekali keduanya membahas Ayahnya yang tidak terlibat di setiap proses pertumbuhan Elliana. Niall merasa jika adiknya menganggap dirinya sendiri tidak berguna kali ini karena sebelum hadir di kelulusan, keduanya sempat berdiskusi dan Niall meminta kepada Elliana membujuk Ayah untuk pulang sebentar. Tidak tega melihatnya terus menunduk sedih, dia menggendong adiknya lalu berlari keluar diikuti Bunda hingga sampai di depan mobil mereka.

"AHAHAHA KAKAK TURUNKAN AKU, AHH BUNDAA." teriak sembari tawa kencang memenuhi kehangatan sederhana mereka.

"Jangan Bundaa!! Kali ini biar Elliana yang urus sendiri." gemas Niall dan mereka sangat menikmati waktunya hingga sampai di depan mobil.

"Hahaha!! Dasar kak Niall!! Kalau begitu biar kakak yang menyetir, Bun!! Kakak juga harus mentraktir kita!!"

"Kau!!!" Bercanda saling mengejar, memutari Bundanya sebelum akhirnya seseorang menghentikan kenakalan mereka.

"Padahal sudah berusaha untuk lebih awal, ternyata masih telat ya?" Kakak beradik menoleh bersamaan, bukan Niall yang terkejut tetapi Elliana yang menganga tidak percaya dan langsung berlari menghampirinya. "Kamu sudah tumbuh cukup mandiri ya anak Ayah."

"Uhh Ayah kenapa lama dan kenapa tidak menghubungi Bunda? Oh iya, katanya kakak yang akan mentraktir kita, benar kan kak?" Elliana tertawa puas menyadari Niall masih terpaku di tempat tanpa goyah sedikitpun.

The Dream That I ExpectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang