"Makasih" ucap Laudy dengan suaranya yang lembut mampu membuat hati Dewa menghangat.
Dewa hanya mengangguk dan bergegas meninggalkan rumah Laudy. Diam-diam, ia tersenyum di balik helm fullface-nya. Gadis itu alasan mengapa Dewa tersenyum saat ini.
Dandelion.
Namun, masih ada yang mengganjal di pikirannya, ia merasa familiar dengan wajah Laudy, mirip dengan seseorang yang berjasa di hidupnya, seseorang yang memberikan semangat untuk Dewa, namun sayang, orang itu telah kembali menghadap Tuhan.
Bahkan ia sendiri melihat secara langsung insiden mengerikan itu, Dewa, Nia dan Bulan menyaksikan semuanya, bagaimana kejadian itu merenggut nyawa orang itu, bagaimana seorang gadis kecil menangis tersedu-sedu sembari memeluk jasad itu, bagaimana hancurnya pertahanan seorang istri tatkala melihat suaminya terbujur kaku.
Dewa menyaksikan semuanya, bersama Nia dan Bulan. Namun, usianya yang masih begitu kecil kala itu, masih membuatnya tak mengerti dengan apa yang terjadi, namun perlahan ia tumbuh hingga menjadi remaja tampan, ia mulai mengerti arti kejadian itu.
Namun, Dewa dan Nia melihat 'dia' berada di lokasi kejadian. Hingga saat ini, Dewa masih mencari keberadaan-'nya'. Ia takkan menyerah sebelum keadilan berpihak pada orang yang berjasa di hidupnya.
Dewa kangen, Kang Ardi.
****
Seorang gadis cantik nan lugu tengah berada di sebuah taman, taman yang begitu indah, berbagai macam bunga ditanam dengan begitu apik di sana. Perpaduan warna-warna bunga membuat taman itu seolah hidup.
Gadis itu berjalan mencium harum lembut bunga, ia memetik satu tangkai bunga Cattleya, dihirupnya dalam-dalam, membuat bibir gadis itu melengkung cantik.
"Dandelion" panggil seorang lelaki paruh baya yang masih nampak begitu tampan.
Laudy menolehkan kepalanya ke belakang, alangkah terkejutnya ia menemukan sosok ayahnya, berdiri tak jauh darinya. Laudy sungguh merindukan Langit, rindu yang sekian lama terpendam, kini kian menggebu-gebu hanya dengan melihat rupa Langit.
Laudy segera berlari dan memeluk Langit, ia benamkan wajahnya di balik dada yang masih terlihat bidang walau usianya sudah terbilang sepuh.
"Papa, Dandelion kangen" ucap Laudy manja seraya memilih memeluk Langit lebih erat. Langit hanya terkekeh geli dengan sikap manja anaknya.
"Kamu ini, manja sekali" ucap Langit seraya mengusap lembut puncak kepala Laudy.
"Biarin"ucap Laudy seraya melepaskan pelukannya.
"Papa kemana aja pa? Papa nggak kangen Dandelion sama mama?" Tanya Laudy.
"Papa nggak kemana-mana sayang, papa hanya pergi ke tempat dimana papa seharusnya kembali, semua orang akan mengalami itu, termasuk kamu, tapi, papa akan selalu di hati kalian berdua, jadi Dandelion jangan berpikir kalo papa pergi jauh sayang" ucap Langit lembut, mata teduhnya membuat Laudy tak kuasa menahan tangisnya.
"Tapi papa hiks jahat, papa mau ngrayain ulang tahun Laudy tapi papa hiks malah pergi" ucap Laudy seraya menangis.
Langit yang merasa tak tega langsung mendekap tubuh mungil Laudy ke dalam pelukannya. Pelukan seorang ayah memang selalu membuat Laudy merasa aman.
"Sst, jangan nangis. Papa nggak kemana-mana, papa tetep di hati kalian, tapi tolong bantu papa, Dandelion" ucap Langit seraya melepaskan pelukannya dan tersenyum pedih.

KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity Love (Slow Update)
RandomTentang sebuah arti cinta dalam kesederhanaan. **** Dandelion tak secantik mawar,tak seceria matahari,dan tak sesuci embun pagi,namun ia pergi untuk mencari jati diri. Mungil,rapuh,dan berdiri sendiri. Sederhana namun memukau. "Mencintai itu mudah,h...