18

11 3 3
                                    

"Bagaimana dengan Nita? Apa dia masih suka mengganggumu?" tanya Ara memecah keheningan diantara kami.

Kami sedang berjalan di trotoar menuju toko buku di daerah Buah Batu. Memang aku yang memintanya menyimpan motor di suatu super market terdekat. Jalan kaki lebih sehat, kan.

"Dari dulu Nita memang tak pernah menggangguku, kok."

Dia cuma tersenyum tidak percaya sambil mengacak rambutku. Padahal, tidak ada yang ia acak. Toh aku menguncir rambutnya.

"Aku mau tanya deh, kenapa kamu memanggilku Ara?" tanyanya.

Aku menatapnya aneh, "Memangnya kenapa?"

"Tidak apa-apa, sih. Kamu hanya mengingatkanku pada nenekku."

"Oh iya?"

Ia mengangguk, "He em. Panggilan itu, hanya nenek saja yang memakainya. Dulu aku sempat marah karena terdengar seperti nama anak perempuan."

"Tidak kok, menurutku tidak sama."
"Masa iya?"
"Sedikit sih. Hehee."

Dia menggelengkan kepalanya sambil terkekeh.

"Oh iya, kak. Sekarang, bukan nenekmu saja yang memanggilmu Ara." godaku sambil terkekeh.

"Iya, iya."

Sudah sampai. Kami memasuki toko buku dan berkeliling sambing berbincang-bincang kecil.

Aku tidak menyangka, sekarang kutub es dihadapanku sudah mencair. Dia juga banyak tersenyum dan lebih hangat.

Setelah selesai membeli beberapa novel, Ara mengajakku ke taman. Aku sih tidak tahu letak tamannya dimana. Tapi dia menyuruhku untuk mengikutinya saja.

"Pokoknya kamu ikuti aku saja, Agin."

Agin...

Sejenak aku menghentikan langkahku. Kenapa aku mendadak teringat Agi. Bagaimana kabarnya ya?

"Kenapa?" tanyanya.
"Ah, tidak."
"Karena aku panggil kamu Agin?"

Aku tak menjawab.

"Sepertinya iya." jawabnya sendiri.
"Kamu masih gak pingin aku panggil Agin?"

Sekali lagi aku tak menjawab. Aku bingung harus menjawab apa.

"Memangnya, kenapa sih?"

Aku membelalakan mataku..

Di taman itu...

Agi?

Dia pulang ke Indonesia tidak bilang-bilang kepadaku.

Mataku panas. Sialnya karena aku sangat merindukan makhluk yang cukup jauh di hadapanku itu.

"Agi..." gumamku.

Aku berlari menghampirinya. Melupakan seseorang di belakangku yang kebingungan.

Namun, tiba-tiba seorang perempuan datang kepada Agi. Membuat langkahku terhenti seketika.

Mataku tidak berbohong, kan?

Perempuan itu memeluk Agi dengan erat. Dan kenapa Agi membalasnya? Mereka seolah sepasang kekasih yang saling merindukan.

Agi, laki-laki itu menatapnya dengan tatapan sendu. Sampai ketika Agi menangkup kedua pipi perempuan itu.

Air mataku sudah mengalir. Aku sudah terpaku melihat pemandangan yang sungguh menyakitkan. Ibarat sudah disiksa oleh rindu yang sudah menganga lalu saat kau menemuinya ia malah menaburkan cuka.

Aku hanya melihat mereka sampai Agi mendekatkan wajahnya pada si perempuan.

Kemudian...

Gelap.

Agina & Agintara ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang