+One

12 2 3
                                    

"Setiap manusia itu punya cinta. Namun ada yang ditunjukannya ada pula yang disembunyikannya."

***

"

Kamu memang pintar memilih pasangan, Gin," kata Agi, "Dia tak kalah ganteng dariku."

Mendengarnya pipiku memerah. Sungguh, entah bagaimana aku memanggilnya begitu. Aku tidak sadar. Aku malu sekali pada Ara. Aku tidak berani menatapnya.

Sedangkan kulihat, Nita tersenyum geli.

"Akhirnya kak Agi ada yang lelehin." yah, aku juga baru sadar. Agi yang dimaksud aku dan Nita adalah Agi yang berbeda.

Aku sudah meminta maaf pada Nita, begitu pun Nita. Kami sudah berbaikan. Memang dasarnya Nita itu baik. Entah pakai pelet apa sehingga Ara bisa membuat Nita mati-matian mengejarnya.

Akhirnya kami berempat memutuskan untuk makan malam bersama. Mereka menyebutnya double date. Sebutan yang malah membuatku semakin malu.

Apa Ara akan marah aku menyebutnya sebagai pacar?

Aduhhh! Bagaimana ini...

Selama makan malam, tak ada percakapan antara aku dan Ara. Aku terlalu malu mengingat ucapanku tadi. Memang keceplosanku tidak bagus sekali. Bikin malu.

Kami berempat telah berada diparkiran. Tak berapa lama, Agi pamit.

"Aku dan Nita pulang duluan, ya."

"I-Iya.. Salam untuk tante ya, Gi."

Agi mengangguk kemudian menggenggam tangan Nita.

"Kalau begitu kami pamit." ucap Nita.

"Ya, hati-hati."

"Dah.."

Fix! Agi dan Nita benar-benar sudah pulang. Suasana malam ini semakin canggung. Aku hanya berani menunduk saja..

Saat tiba-tiba kurasakan tanganku ada yang kenggenggam. Siapa lagi kalau bukan Ara. Tapi, wajahnya tetap menatap lurus kedepan seolah tak tahu tangannya sedang melakukan apa.

Kemudian, Ara memasukkan genggaman tangan kami ke dalam kantong hoodie abu-abunya.

"Pacar." katanya sambil tersenyum geli seraya masih tetap menatap lurus ke depan.

Ucapannya, membuatku semakin malu. Entah sudah semerah apa wajahku ini.

Dia berbalik ke arah ku, kini tanganku beralih. Dia menggenggam keduanya.

"Ada apa?"

Matanya menatapku lekat, "Mungkin aku gak bisa bagaimana caranya romantis. Aku juga terlalu buru-buru."

"Hah?"

"Sut, jangan kamu potong dulu."

"Baiklah." aku menghela nafas pasrah.

Dia tersenyum, "Aku pengen bilang, kalau aku menyukaimu. Benar-benar. Bukan untuk membelamu. Ucapanku saat itu semuanya benar. Aku menyukaimu, Agin."

Aku terkejut. Benarkah? Jadi saat itu dia mengatakan hal yang benar? Jadi selama ini dia...

"Ya, Agin. Mungkin bukan cuma sekedar suka. Tapi lebih dari itu."

Fix! Wajahku memerah sekarang.

"Aku sakit kalau lihat kamu sama laki-laki lain. Aku gak mau kamu sama salah satu dari mereka. Aku pengen, kamu cuma untukku. Mungkin kedengarannya aku egois. Tapi percayalah, Agin, ini pertama kalinya untukku menyukai seorang perempuan. Dan aku gak ingin melepaskannya."

Ia menghela nafas, "Jadi, Agina Zhafira, apa kamu mau jadi pacarku?"

"Aku..." huft. Aku grogi sekarang. Apalagi ditatapnya seperti itu.

"Bukankah sedari tadi aku sudah menyebutmu pacar?" tanyaku geli sekaligus untuk menggodanya. Namun sedetik kemudian aku membuang muka karena malu. Apalagi ditatapnya seperti itu.

Dia tersenyum, tapi sekaligus menahan tawanya melihatku yang tadi sok berani namun ciut ketika ditatapnya.

"Tapi yang sekarang beneran." lanjutku malu-malu. "Pacar," lanjutku sambil menatapnya.

***

Setelah itu kami memutuskan untuk pulang. Dengan senyuman yang tak pernah luntur dari wajah kami. Motornya menyusuri jalanan kota Bandung yang lenggang dan menyejukkan malam hari ini. Suasana Bandung malam ini benar-benar menyenangkan. Apalagi setelah apa yang terjadi tadi.

Ya, hari ini, adalah hari jadian kami. Aku tidak menyangka seorang yang dulu dinginnya melebihi kutub es, sekarang bisa menyatakan perasaannya. Ya, walaupun bukan dengan cara yang romantis-romantis banget.

Tapi pada akhirnya, keinginanku benar-benar terjadi. Agin dan Agi akan hidup bahagia pada akhirnya. Bukan, bukan Agi yang dari awal aku inginkan. Bukan Arya Gibran. Tapi Agi yang dihadapanku sekarang. Agi yang datang di saat aku benar-benar membutuhkan seseorang. Yang datang di saat aku dalam keadaan paling jatuh.

Dia, Agintara Mahesa.

Makhluk menyebalkan yang sialnya sangat tampan. Apalagi kalau tersenyum dengan senyuman iritnya.

"Kenapa?"

"Kenapa apa?"

"Kenapa kamu bisa menyukaiku."

"Aku gak tahu." huh, masa jawabannya hanya seperti itu.

"Sejak kapan?"

"Sejak kapan aku menyukaimu?"

"Iya,"

"Sejak pertama kali aku bertemu kamu."

"Saat aku telat?"

"Saat kamu menjatuhkan snackmu di minimarket."

Agina & Agintara ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang