Lelehan Lilin

11 1 0
                                    

Hujan menyisakan gerimis. Aku sudah tidak kuat dengan kesedihan yang dihadirkan pemakaman sore itu. Kugenggam tangan mungil Mikha. Sepasang mata pandanya memandangku seolah menunggu jawaban. Dengan berat dan suara tergetar, kukatakan pada Miha meski itu bohong.

“Iya, Mikha. Ayahmu akan ikut pulang bersama kita.”

Mikha mengangguk. Ia berdiri sembari menyeka air matanya. Kugenggam tangannya dengan hati-hati, seolah aku sedang menyentuh kulit yang rapuh dan rentan. Sedikit saja salah menggenggam, akan hancur menjadi debu dan terbang tertiup hembusan penyesalan. Menyebarkan kepedihan yang teramat dalam. Menyapa mata sebutir saja, niscaya menarik ingatan masa kecil yang riang kemudian menghilang tiba-tiba dan hanya menyisakan linangan air mata.

Aku berjalan pelan di sisi Mikha. Tangannya menggenggam erat, seolah cuma itu satu-satunya ruang yang menenangkan. Sedang di luar hanya berisi kepedihan demi kepedihan, kepahitan demi kepahitan, keputusasaan demi keputusasaan. Tak lebih dari itu. Sekilas kulihat Shyra masih terduduk dengan kepala menunduk. Entah apa yang sedang dilakukannya, aku tidak ingin memikirkannya. Setidaknya untuk saaat ini. Aku tahu pasti seberapa dalam penyesalannya, seberapa sedih ia saat ini. Tapi untuk sekarang, yang terpenting adalah Mikha. Ia tak boleh sedih terlalu lama. Tubuh kecilnya tak semestinya memikul beban sebesar itu.

Kulingkarkan tanganku di pundaknya, dan mendekatkannya ke arahku. Kulihat Mikha sedang mengajak bicara Manda, bonekanya. Sejenak ia menoleh ke arahku, tersenyum, lalu kembali mengajak bicara Manda. Dengan matanya yang sembab itu.

Perlahan kami mulai melangkah meninggalkan area pemakaman. Sesampai di jalan keluar makam, kuarahkan langkah kaki menyusuri jalan menuju rumah Mikha. Jalanan aspal yang berlubang di sana-sini membuat Mikha melepas genggamannya. Ia melompat-lompat di setiap kubangan air yang menghadang di depannya. Tampak Mikha kembali riang dengan tingkahnya itu. Ia juga beberapa kali mengajak Manda bercanda. Melihat itu, aku hanya tersenyum.

Rumah Mikha sudah terlihat. Sebuah gubug kecil dengan kayu bekas yang dilapisi kardus di keempat sisinya. Melihat rumah kesayangannya yang tinggal beberapa meter, Mikha lari begitu saja ke rumahnya.

“Sudah sampai, kak. Ayo sini…! Ayah pasti sudah membuatkan nasi dan kerupuk kecap untuk kita!” ujar Mikha yang tersenyum sembari melambai-lambaikan tangannya.
Sesaat hatiku kembali sesak. Hampir saja mataku kembali mengalirkan air mata, tetapi segera kututupi dengan senyum paling tenang yang bisa kutampakkan padanya. Sebisa mungkin aku berjalan dengan tenang ke arahnya.

Mikha masih melambaikan tangannya dengan riang, seolah tragedi yang baru saja merenggut nyawa ayahnya itu sama sekali tidak pernah terjadi. Melihatku masih berjalan pelan membuatnya sesekali mengulangi teriakan kecilnya. Bahkan Mikha berlari kembali menjemputku. Kemudian menarik tanganku agar semakin cepat mengikutinya.
Aku mencoba tersenyum melihat tingkah polos Mikha. Tetapi apa daya, alasan-alasan yang sebelumnya telah kususun untuk mengusir kesedihanku di hadapannya, runtuh begitu saja. Ya, hanya karena sebuah genggaman dari tangan kecil nan rapuh itu menempel di tanganku. Diam-
diam, tanpa sepengetahuan Mikha, aku tersenyum getir. Sebuah senyuman yang basah oleh hujan pemakaman yang tertinggal di kedua mataku.

“Kak, Ayah belum sampai rumah. Kita kasih kejutan yuk!” Ucap Mikha penuh semangat. Untuk beberapa saat, aku bahagia mendengarnya. Sepertinya, kesedihan Mikha benar-benar tertinggal di pemakaman.
Selangkah masuk dari pintu rumah Mikha, mataku tertuju kepada jejeran lilin bekas di atas meja. Tampak di sampingnya sepotong roti yang dikerubungi koloni semut yang seolah sedang merayakan ulang tahun komandannya.

“Ini hari ulang tahun ayah lho, kak. Mikha ingin memberi Ayah kejutan. Ssssttt… jangan bilang-bilang ayah ya, kak.”
Duarrrrrr!! Bagai disambar petir, tanggul air mataku kembali jebol dan memuntahkan seluruh kepedihan yang telah kubendung.

“Ayo, kak, cepat sembunyi. Sebelum ayah tahu kalau kita sudah di rumah.”
Lagi-lagi, kepolosan anak itu membuatku melebarkan senyum sebagai tempat bermuaranya air mataku. Di sela kesibukanku mengusap air mata, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu,

“Tok tok tok…”

Mikha tersenyum lebar, kemudian berkata lirih,

“Kak, ayo cepat nyalakan lilinnya. Ayah sudah pulang…”

Mahligai Untuk Mikha #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang