“Assalamualaikum,” terdengar suara dari arah pintu depan memanggil.
“Waalaikumsalam, siapa?” Aku menyahut dan segera menghampiri sumber suara itu.
-
*Mikha
Sementara kak Zalyn menjemput Ayah di depan, aku menyalakan lilin untuk memberi kejutan. Mikha sayang sekali sama Ayah. Mikha pengen hadiah terbaik buat Ayah. Walaupun Mikha nggak bisa beliin baju baru buat Ayah, tapi Mikha yakin Ayah pasti bahagia kalau Mikha bahagia.
“Lilin sudah, roti sudah, :-D semoga Ayah suka. Mikha sembunyi dulu ah nanti kalau Ayah masuk Mikha kagetin.”
Sudah sepuluh menit tapi kak Zalyn sama Ayah masih belum juga masuk. Mereka malah asik ngobrol sendiri di depan. Huh, bikin bête kan.
Aku bosan menunggu di dalam. Daripada kelamaan mending Mikha kagetin saja langsung. Aku beranjak ke depan. Mengendap-endap. Memastikan Ayah dan kak Zalyn tidak menyadari kedatanganku.
“Baaa…. Selamat ulang tahun Ayaaaahhh. Lhoh, ternyata Pak RW. Mikha kira tadi Ayah, hehehe…”
Yaah aku kecewa, ternyata bukan Ayah yang tadi mengetuk pintu. Tapi tak apalah. Mungkin nanti agak malam Ayah pulang, seperti biasanya sehabis kerja dengan keringat deras dan beberapa memar di tubuh. Aku tahu itu karena Ayah sering bertengkar dengan preman di pasar. Jangan percaya kalau ada yang bilang Ayah digebuki karena mencopet.
“Kak, Mikha tidur dulu, ya. Nanti kalau Ayah pulang bangunin Mikha, ya.” Aku tersenyum meninggalkan kak Zalyn yang masih ngobrol sama Pak RW. Aku mau tidur saja sambil menunggu Ayah pulang.
-
*Zalyn
Sebenarnya niat pertamuan Pak RW adalah untuk meminta data diri Pak Beni, sekaligus memberitahukan kalau warga sekitar menolak menyantuni dan melaksanakan ritual Tahlilan. Tentu saja karena anggapan tentang Pak Beni adalah seorang pencopet di wilayah ini.
Aku tak sampai hati mendengarnya. Bagaimana mungkin rasa kemanusiaan seketika lenyap hanya karena “profesi”. Bagaimana jika mereka diberi kehormatan untuk hadir di acara Tahlilan para pejabat? Aku yakin para munafik itu akan berbondong-bondong menghadirinya kendati mereka tahu bahwa pejabat itu koruptor kelas kakap.
Sekali lagi terjadi, kehormatan sosial berkasta lebih tinggi dari kemanusiaan. Tapi untunglah, Pak RW secara pribadi sanggung menanggung biaya hidup Mikha untuk sekadar makan sehari-hari dan bersekolah dasar. Aku mengucap beribu syukur karena perkumpulan orang munafik di sini dipimpin oleh pendamping nabi di surga yang konon akan sedekat jari telunjuk dan jari manis.
“Aku gagal memimpin mereka. Semoga Allah mengampuniku, atau segera mengambil jabatanku.” Aku terkejut dengan kalimat beliau. Berbeda dengan pejabat lain yang progresif, Indikator kegagalan beliau sangat humanis. Kenapa yang jadi lurah bukan beliau saja, pikirku. Jika itu terjadi, pasti sekarang Mikha sedang bermain di taman kota bersama Pak Beni seperti biasanya.
Kemudian Pak RW berpamitan. Terlihat bola matanya memproduksi beberapa lapis kaca bening yang memantulkan rasa iba begitu dalam. Doa keselamatan keluar dari bibirnya, membersamai lelehan kaca bening dari matanya. Mengiringi langkah kakinya yang mulai menjauh.
Aku menyusul Mikha ke kamar. Begitu cepatnya, dia sudah terbuai alam mimpi. Dia pasti kelelahan sepanjang hari ini. Lelah memikul derita teramat besar. Lelah merenangi air mata yang menghanyutkan. Lelah melawan arus kehidupan yang begitu deras dengan kesombongan. Ibarat dunia militer, itu sudah menjadi wilayah perang, bukan lagi arena latihan. Karena sekali saja Mikha lengah, dunia akan membombadirnya dengan kecongkakan. Satu-satunya alasanku masih mampu tersenyum saat ini adalah betapa perwiranya Mikha menghadapi perang itu. Menolak kekalahan atas kesombongan dunia. Sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahligai Untuk Mikha #1
Conto"Siapa yang akan menyangka seorang gadis kecil berjiwa besar itu sedang ditimpa duka yang teramat kecil?. Tak usah berlebihan, bahagiamu atas senja adalah duka mereka atas terik."