Dunia Kedua

15 1 0
                                    

Tampak di sudut makam kulihat seorang pemuda berperawakan gagah sedang melamun menatap Mikha. Seolah ada sekelompok serdadu yang hendak menangkap dan siap membunuhnya, ia hanya pasrah, diam membisu sejuta bahasa. Aku paham betul apa yang dipikirkannya, karena dia adalah Shyra, putra seorang pemuka agama yang bertanggungjawab atas pembantaian ayah Mikha.

Seketika lamunannya pecah saat suara tangis Mikha mendadak berubah menjadi tawa. Ia masih terpaku berdiri di kejauhan dengan payung hitamnya. Sepertinya rasa bersalah karena tidak mampu membela ayah gadis itu membuatnya tak kuasa melangkah lebih dekat lagi kepada Mikha. Ia hanya melihat gadis itu dengan iba.

Mikha terus tertawa. aku tak tahu pasti apa penyebabnya. Aku hanya takut jika gadis belia itu “harus” merasakan depresi. Diam-diam kuberanikan kakiku untuk melangkah lebih dekat kepadanya. Sekarang hanya satu meter jarak antara aku dan Mikha. Sayup-sayup kudengar celoteh Mikha, seolah sang ayah ada disampingnya dan mengajaknya bercanda.

“ayah, Manda rusak lagi ayah. Talinya ada yang lepas, tangannya mau lepas. Nanti ayah perbaiki ya, aku tak ingin Manda rusak. Benar ayah? Yeeeee asiiiikkk. Manda, kamu akan diperbaiki dan kita akan bermain bersama lagi. Hahaha..”  celoteh Mikha dengan riang sekali. Kulihat “kegembiraan” Mikha dengan haru. Tak terasa butir-butir linangan air mata membasahi pipiku. Sungguh, suatu cobaan yang mungkin aku sendiri belum mampu untuk menghadapinya. Dengan langkah perlahan, kudekati Mikha dengan sangat hati-hati.

“Mikha...” sedikitnya dua tetes airmata kembali berlinang meskipun sebisa mungkin aku mencoba untuk menahannya.

“Mikha, sudah sore.. ayo ikut pulang bersamaku” ujarku dengan sangat halus dan hati-hati. Kulihat ia menoleh kepadaku. Wajah kecilnya itu tersenyum seolah menolak derasnya hujan yang mencoba menjadi airmatanya.

“Pulang kemana kak? Lalu, ayah bagaimana? Kasihan ayah sendirian.. aku disini saja menunggui ayah...”

“Ayahmu sudah tenang di alam sana, Mikha.” Dengan nada agak keras kusela pembicaraannya sambil mengguncang lembut pundak mungilnya.

“Ayo pulang, ke rumah kakak...” aku mencoba tersenyum padanya.

“Nanti ayah menyusul kan, kak?” seketika rasa sedih kembali menyeruak lewat mataku. Aku tak tahan melihat Mikha yang masih begitu polos kehilangan ayah yang menjadi tumpuan satu-satunya bagi segala cerita Mikha sehari-hari.

Dengan mulut yang sudah tak mampu mengeluarkan kata-kata penghibur lainnya untuk Mikha, kugeletakkan payungku dan kupeluk gadis kecil itu dengan penuh haru, sedih, iba yang bercampur menjadi satu.

“iya, ayahmu pasti menyusul..”

“ayah jangan lupa menyusul ya, Mikha tunggu ayah di rumah kak Zalyn”.

Sore itu benar-benar menjadi hari kesedihan yang amat perih. Kesedihan yang membuat senja tidak lagi terlihat indah, kesedihan yang mengubah derasnya hujan menjadi jeritan pilu dari gemuruh guntur yang menyatu, kesedihan yang mengubah langit menjadi kelam. Semuanya menyatu dengan awan hujan yang berkerumun di pemakaman. Seorang ayah telah pergi dengan cara yang sadis hanya karena sebuah boneka kecil untuk membahagiakan putri kecilnya.
Tampak Shyra masih terpaku oleh rasa bersalahnya. Rasa iba pada Mikha melahirkan kebencian yang amat mendalam kepada para "hakim" yang telah membunuh ayah Mikha. Matanya berkaca, mulutnya menjerit penuh emosi sambil membanting payung hitamnya

"kalian juga harus mati, bangsaaattt..."

Mahligai Untuk Mikha #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang