Secercah Harapan

10 1 0
                                    

HARI sudah pagi. Aku terbangun kala tangan mungil menggoyang tubuhku.
“Kak, bangun.” Sapanya. Aku tertidur di depan pintu karena pingsan tadi malam. Sedikit berusaha aku mengangkat tubuhku yang masih terasa berat. Masih jelas sekali bayangan Pak Beni yang datang menyapaku tadi malam. Mikha menuntunku berjalan menuju kursi di ruang tamu.
“Kok kakak tidur di depan pintu, sih?” tanya Mikha dengan wajah yang cerah. Aku benar-benar kagum dengan kepolosan dan kekuatan yang ditanggung tubuh mungil itu.
“Gapapa, Mikha. Ayuk ke dapur. Kak Zalyn masakin telur omlet yang istimewa.” Aku mengalihkan pembicaraan dengan mengajaknya memasak untuk sarapan.
Sementara aku memasak, Mikha terlihat sibuk bermain-main dengan bonekanya. Seolah imajinasinya menembus alam nyata bahwa boneka itu adalah adiknya sendiri. Ahhh... bahagianya menjadi gadis kecil yang mampu membuat dunianya sendiri sesuai imajinasinya. Di tengah kesibukan kami masing-masing, terdengar suara ketukan pintu dari depan.
“Assalamualaikum... Zalyn...”
"Kak,, itu Ayah...  Ayok ke depan."
“Mikha tunggu di sini dulu, ya. Biar Kak Zalyn yang ke depan.” Kumatikan kompor, mengeringkan omlet di atas wajan, dan bergegas melangkah ke depan.
“Iyaa... waalaikumsalam,” teriakku menjawab salam dari dalam.
Aku segera ke depan untuk menemui sosok yang sebelumnya diduga “Ayah” oleh Mikha. Sambil melangkah tergesa, aku memastikan siapa gerangan tamu itu, yang mempunya aura keberadaan seperti “Ayah” hingga Mikha menganggapnya seperti itu.
“Siapa?” tanyaku setengah teriak dari balik pintu.
“Pak RW,”
“Oh, Pak RW, silakan masuk, Pak. Silakan duduk.”
Aku mengikuti Pak RW yang duduk di ruang tamu. “Ada keperluan apa lagi ya, Pak? Mungkin saya bisa membantu?”
“Begini, Nak Zalyn. Maksud kedatangan saya kembali, ingin membahas soal administrasi pemakaman Pak Beni, sekalian mengajak Nak Zalyn untuk membantu Mikha dalam mengurus alih nama warisan. Karena satu-satunya ahli waris Pak Beni adalah Mikha...”
Perbincangan kami berlangsung serius dan panjang. Sudah satu jam kami saling bertukar suara, dan Mikha dengan memeluk bonekanya tampak tertidur pulas kembali dalam alam mimpinya; alam yang memungkinkan ia dan ayahnya bisa bertemu dan bercanda lagi bagai hari lalu. Wajahnya memang tak menunjukkan kelelahan sedikitpun, tapi siapa yang tak lelah setelah sehari penuh dihantam bertubi-tubi oleh ombak ganas air mata? Gadis mana yang mampu bersandiwara begitu apik di pentas kehidupan yang bahkan ia sendiri tak tahu perannya sebagai apa? Biarlah ia tidur lagi. Lebih baik begitu, untuk melemaskan otot-otot kecilnya sejenak dan mengisi energi keceriaan kembali. Karena setelah ini ia harus memikul beban yang lebih berat dari ukuran tubuhnya kembali.
Di tengah perbincanganku dengan Pak RW, tiba-tiba Shyra datang dengan amarah yang menyala-nyala. Sepertinya perasaan bersalah kepada Mikha membuatnya semakin bermetamorfosis menjadi kedangkalan emosi yang meluap-luap. Cara berjalannya sudah seperti api yang menghampiri ranting-ranting kering. Kembang kempis napasnya bagai seekor naga dalam buku dongeng lusuh Mikha yang siap menyemburkan kobaran apinya.
“Lebih baik kubunuh saja gadis kecil itu. Biar kuakhiri penderitaannya sekarang juga. Ia pantas bahagia di surga bersama Cinta Sejatinya,” teriak Shyra sambil mengacungkan bilah pisau ke arah kami.
Sontak hal ini membangkitkan reflek Pak RW sebagai pamong warga untuk menjinakkan naga yang telah siap menyemburkan api amarahnya itu. Sudah bisa diprediksi, perdebatan hebat terjadi di antara mereka. Antara pemuda idealis-radikalis dan seorang tetua yang terikat tanggung jawab sebagai pamong warga-warganya.
Perdebatan semakin sengit. Namun, Sang Pawang mampu mendominasi Sang Naga.
Pada akhirnya, Sang Naga menyerah dan bersedia mengurungkan niatnya dengan mengajukan syarat bahwa kebahagiaan Mikha terjamin, dan hukum adat sepihak yang memihak emosi tidak akan terjadi lagi untuk mencegah munculnya Mikha-Mikha yang lain. Syukurlah, Pak RW menyetujui.
Karena chaosnya suasana yang terjadi, aku sampai tak menyadari kalau Mikha terbangun dan sudah berdiri mematung di sisiku.
“Kak, Ayah pergi kemana tadi? Katanya keluar sebentar menemui Kak Zalyn. Oh iya... tadi Ayah bilang kalau aku harus rajin belajar biar bisa sekolah tinggi kayak Kak Zalyn, biar nanti bisa beli boneka sendiri yang bagus hahahaha. Terus Ayah pamit pergi, waktu Mikha mau ikut, katanya Mikha gak boleh nyusul Ayah dulu. Memangnya Ayah pergi kemana, sih, kak?” Lagi-lagi dengan kepolosannya anak itu berhasil menjebol bendungan air mata yang sudah susah-susah kubangun kembali sebelumya. Aku kembali menangis. Shyra tampak juga tidak bisa menutupi linangan air mata dari kedua pipinya.
“Aku akan menanggung biaya hidup dan sekolahnya Mikha. Zalyn, aku minta tolong bimbing dan urusi Mikha. Pak RW juga harus menjamin kesepakatan kita tadi,” ucap Shyra sambil menangis sesegukan karena tak kuat membayangkan betapa berat beban Mikha.
Suasana menjadi hening. Semua tertuju pada betapa polos senyum yang muncul dari wajah Mikha.
Memang Mikha tampak biasa saja menghadapi takdir yang baru menimpanya. Justru kami orang-orang dewasa yang ketakutan dengan nasib Mikha hingga kami merencanakan berbagai hal demi Mikha. Mikha mungkin sebenarnya tak peduli dengan rencana-rencana orang dewasa. Apapun itu tak akan berpengaruh terhadap apa yang dipikirkannya. Ia tak peduli apapun, ia tak tahu apa-apa. Yang gadis kecil itu tahu hanyalah kasih sayang seorang pencuri boneka yang gugur syahid dibunuh oleh pemuka agama. []

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 30, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mahligai Untuk Mikha #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang