MALAM itu Mikha tertidur pulas dengan wajah tampak polos seperti biasanya. Ya, aku menemani Mikha tidur di gubuk bambunya. Bercahayakan lilin, kulihat sorot wajah Mikha memancarkan kebimbangan pada hari-hari esok, entah masih hidupkah ia atau sudah mati karena ditikam frustasinya. Masih adakah harapan untuk sekadar bercita-cita menjadi dokter, ataukah seketika lenyap ditelan rakusnya kehidupan kota di zaman globalisasi, disrupsi, dan korupsi ini.
Aku suka memandang wajah polos anak itu. Perlahan kuperhatikan, tak terasa bulir air mata jatuh dari mataku. Jujur saja, aku sangat iri mengapa Tuhan menciptakan tubuh kecil itu begitu kuat menanggung derita yang aku sendiri -bahkan- tak sanggup membayangkannya. Mungkin wajah polos itu palsu. Dia bukan anak kecil. Dia bukan gadis kecil umur 5 tahun. Dia adalah monster neraka yang tak punya perasaan. Bukan, dia adalah malaikat Tuhan yang tak punya rasa takut. Bukan, dia adalah... Ah, apapun dia aku tak peduli. Justru sekarang aku lebih kasihan dengan diriku yang hanya lebih tua darinya, namun tak pernah lebih kuat dari dirinya.
Jam ponselku menunjukkan pukul dua. Sudah tengah malam. Mikha sudah terlelap dalam tidurnya, sementara aku masih tidak terima dengan kejadian yang baru saja menimpaku. Ya, menimpaku. Aku baru saja dihantam kenyataan bahwa aku tak lebih tangguh dari anak gadis yatim piatu berumur 5 tahun. Aku iri padanya. Jujur, aku sekarang membencinya. Aku membenci kenyataan bahwa dia adalah seniorku dalam melawan takdir.
Nyala lilin yang tertiup sepoi angin malam lewat jendela semakin menampakkan raut ketenangannya yang manis dari sosok monster ataupun malaikat kecil itu. Aku tersenyum sendiri ketika memandangi wajahnya. Begitu polos, teduh, nyaman, dan tanpa beban. Kulihat bibirnya sesekali bergerak, tertarik ke arah berlawanan dan mengembangkan senyum alami dan sangat purba dari tidur nyenyaknya.
“Lhoh, Ayah... kok pakai baju kayak pak ustadz sih? Putih putih, hihihi.” Aku terpaku mendengarnya. Dengan kesadaran penuh aku tahu pasti apa yang sedang terjadi saat ini.
MIKHA MENGIGAU BERTEMU AYAHNYA DI ALAM MIMPI.
Seketika kaca bening di mataku tak mampu membendung banjir isak yang tumpah ruah di wajahku. Betapa hebat monster kecil ini yang dengan mudah membuatku menangis. Dengan mudahnya dia membuatku merasa bahwa akulah orang terlemah di dunia. Ya Tuhan, kejam sekali Kau mengirimkan moster ini untuk menaklukkanku.
“Yah, Mikha ikut, ya...” dia mengigau lagi, tapi kali ini aku tak menangis. Aku diam tanpa reaksi. Karena akulah yang lebih pantas ditangisi daripada Mikha.
Pukul tiga pagi. Lilin terus terkikis api dan semakin habis. Ayam-ayam di rumah tetangga sudah terdengar berkokok membangunkan dunia, sementara aku masih meratapi betapa menyedihkannya diriku yang dengan mudah dikalahkan oleh gadis berumur lima tahun.
“Mikha... sudah bangun, Nak?” terdengar suara lelaki paruh baya setengah berbisik membangunkan Mikha dari pintu depan.
“Siapa di depan?” aku sedikit berteriak. Tapi tidak ada jawaban. Aku memberanikan diri ke luar untuk menengok siapa yang berkunjung sepagi itu. Ketika kubuka pintu...
“Zalyn, bangunkan Mikha untuk sholat tahajud, ya!”
“Yaa Allah, yaa Allah, yaa Allah... Pak Beni...” aku pingsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahligai Untuk Mikha #1
Cerita Pendek"Siapa yang akan menyangka seorang gadis kecil berjiwa besar itu sedang ditimpa duka yang teramat kecil?. Tak usah berlebihan, bahagiamu atas senja adalah duka mereka atas terik."