Terkadang cinta membuat kita lupa, bahwa masih ada luka yang menunggu di sana. Lupa karena kebahagiaan kita malah menyepelekan kesakitan.
Cinta tumbuh tanpa kita sadari, seperti tumbuhan yang semakin lama semakin besar, semakin sulit juga untuk ditebang.
Itulah Cinta. Karena nyatanya cinta tak sesederhana itu, cinta juga tidak serumit itu. Cinta hanyalah cinta, hanya cukup untuk dirasa bukan dijabarkan melalui kata-kata.
Seperti halnya cinta yang mengunjungi hati dengan sejuta rasa yang berbeda. Karena cinta pun pernah mendatangiku secara tiba-tiba. Tak terduga. Masuk begitu saja, tanpa aku mengizinkannya.
Awalnya aku menikmati, tapi sekarang aku menyadari bahwa cinta bukan hanya sekedar tentang bagaimana kita jatuh, melainkan juga tentang ....
"Risya, kamu sudah tidur?" Gadis itu, yang tadinya sibuk dengan bolpoin serta buku di depannya kini kalang kabut. Secepat yang ia bisa, semampu yang dapat ia lakukan, gadis bernama Risya langsung menyembunyikan bukunya di tumpukan buku lain.
Lantas, membaringkan tubuhnya di atas ranjang, menutup mata, membuat dengkuran halus seolah-olah dirinya sudah menjelajahi mimpi demi mimpi.
Suara decitan pintu terdengar, Risya dapat menebak bahwa sekarang mamanya tengah menatap dirinya di ambang pintu.
"Oh ... udah tidur, ya? ya udah, deh, kalo gitu." Perlahan matanya terbuka, melihat ke arah pintu yang sudah tertutup kembali. Mamanya sudah pergi. Bertepatan saat itu juga cairan bening menggenang di pelupuk matanya, sampai akhirnya jatuh sebagai air mata.
"Semua butuh waktu, 'kan, Ma? Maaf, ini belum waktunya."
******
"We don't talk anymore, we don't talk anymore, we don't talk anymore, we don't talk anymore, we don't talk anymore."
"Diem deh Ar, telinga gue panas, anjir! Pusing ini kepala," ucap temannya menghentikan nyanyian Arka. Bukannya tersinggung atau marah wajah Arka malah berseri.
"Nah, ide bagus tuh. Gue nyanyiin deh, supaya tambah pusing" kedua temannya memasang wajah bingung, tidak mengerti maksud ucapan Arka, atau malah Arka yang tidak mengerti ucapan Dika sebelumnya?
Arka berdeham sebentar, menepuk tutup botol yang tadi ia gunakan sebagai mic dadakan, mungkin meniru para penyanyi sebelum memulai konser.
"ekhem, aduh pusing pala Dika, pala Dika, oh oh oh. Pusing pala Dika, pala Dika oh oh oh. Dika kaya monyet, kaya monyet, oh oh oh. Monyet kaya Dika, kaya dika oh oh oh. Yeeeee... Mana suaranya?!" Arka bernyanyi dengan heboh, setiap siswa ataupun siswi memandang aneh saat mereka lewat. Tapi mungkin, lebih dominan memandang takjub karena wajah Arka melebihi rata-rata. Setidaknya untuk para wanita.
Dika menutup matanya sesaat, benar yang dikatakan Arka, kepalanya semakin berdenyut. Sedangkan yang lain malah sibuk dengan tawa masing-masing.
"eh Ar, kadang gue tuh bingung. Lo pengen jadi penyanyi tapi nggak hafal lagunya. Kaya tadi, gue sempet kebelet pipis, anjir! Masa liriknya lo ulang-ulang selama 5 menit. Gila lo!"
"we don't talk anymore, we don't talk anymore gitu sampek gue pengen muntah. Gara-gara lo nih, gue yang semaleman hafalin lagu goyang dumang malah hafal we don't talk anymore, atau bahkan di otak gue cuma ada itu doang"
Untuk sekarang Arka mendengus, menatap sinis ke arah Rafa. Tersinggung dengan apa yang dikatakan temannya tadi, walaupun yang dikatakan Rio tidak ada yang salah.
"sinis aja lo bambang" ucap Arka sambil mendengus kesal dan disambut tawa oleh kedua temannya. Arka duduk di kantai koridor, bersandar pada dinding. Sedangkan Dika dan Rafa duduk diatas kursi yang sengaja di sediakan. Sebenarnya masih muat untuk bertiga hanya saja Arka lebih memilih duduk di lantai, adem katanya.
Arka memperhatikan ke arah lapangan, sekarang adalah jadwal anak kelas IPA 4 olahraga. Terlihat seorang cewek tengah maju untuk gilirannya. Mereka sedang bermain bola kasti.
Arka berdiri, gerakan itu dilihat oleh Rafa membuatnya mengeryit bingung. "mau kemana lo tai!" Tanya Dika seolah mewakili apa yang ingin Rafa tanyakan.
Arka menoleh sesaat. "urusan hati" jawabnya singkat lalu berlari kecil meninggalkan Dika dan Rafa yang masih kebingungan. "urusan hati? Cih, sok punya hati"
Sedangkan di sisi lain, lebih tepatnya di tengah-tengah lapangan, kehadiran Arka sontak mengambil alih perhatian para siswi. Memang, siswa dan siswi yang mengikuti pelajaran olahraga dipisah.
Jadi, tidak heran jika kedatangan Arka mampu membuat mereka semua menghentikan aktivitasnya. Mereka sibuk berbisik, bahkan ada yang merapikan poninya. Entahlah, Arka tidak tau alasannya.
Arka sendiri malah mengabaikan bisikan-bisikan yang tentu saja ditujukan untuknya. Menurutnya, cewek yang masih memegang pemukul bola kasti dengan raut wajah bingung sekaligus menahan kesal dan hampir frustrasi ini jauh lebih menarik daripada apapun.
"bukan kayak gitu megangnya. Lo salah" cewek itu terlonjak kaget karena tiba-tiba Arka berdiri di sampingnya. Sedangkan Arka malah tersenyum menanggapi wajah heran cewek yang belum ia ketahui namanya.
Masih berada dalam kebingungan, tanpa basa basi Arka langsung mengambil alih pemukul bola tersebut. Mencontohkan teknik yang benar. Cewek itu hanya diam, melihat apa yang di contohkan Arka kepadanya.
"nih, coba" ucap Arka menyerahkan pemukul tersebut yang langsung dengan sigap diambil cewek itu.
Arka hanya terkekeh pelan, memperhatikan cewek di hadapannya ini. Arka dapat melihat bahwa cewek itu masih kesulitan. Entah setan dari mana yang merasuki tubuh Arka, karena nyatanya secara spontan ia mempratik kan dengan posisi di belakang cewek itu, mungkin bagi yang tidak terlalu memperhatikan mereka berdua seperti terlihat berpelukan. Dengan Arka yang memeluk dari belakang.
Dia memberikan aba-aba pada cewek yang ditugaskan melempar bola, sedangkan cewek itu hanya mengerjap pelan. Bingung.
"cepetan" ucap Arka seolah menyadarkannya.
Tangan Arka memegang pemukuk bola, yang tentu saja secara otomatis menyentuh tangan cewek itu. Bersiap mengayunkan ketika bola kasti tersebut sudah akan dilempar.
Dug
Bola itu melambung dengan tingginya, tampak gagah terbang di udara. Cewek cewek yang berada tidak jauh dari situ, berdecak kagum. Entah kagum dengan bola yang membumbung tinggi atau kagum dengan wajah Arka yang terlihat lebih keren.
Arka tersenyum puas, tapi hanya beberapa detik saja senyuman nya langsung hilang, karena tidak lama kemudian pekikan kaget langsung terdengar tepat setelah bola itu jatuh ke tanah.
"Aww.. Shittt! SIAPA YANG NGELEMPAR BOLANYA, BANGSAT?!!"
Arka langsung mundur beberapa langkah, yang berarti tidak sedekat dengan cewek tadi. Cewek itu langsung melepaskan tangannya dari pemukul kasti sehingga pemukul tersebut jatuh ke tanah.
Arka meneguk ludahnya susah payah, kedua matanya terkunci pada sepasang mata dingin nan tajam milik seorang cewek di pinggir lapangan itu. Ia tidak bisa berkutik, entah sihir apa yang digunakannya sampai membuat Arka mati kutu.
Sedangkan cewek itu masih diam di pijakannya, tidak bersuara, hanya menatap lurus, menusuk. Tanpa sepatah kata pun, ia melengos, berbalik meninggalkan lapangan. Arka terdiam, satu sudut bibirnya terangkat.
Menarik. Gue jadi berasa di Antartika.
🌿🌿🌿
Jadi menurut kalian, Risya yang mana? Cewek yang diajarin Arka atau yang kena bola?
Vote dan jangan bosen. See you
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear heart
Fiksi RemajaIni kisah sederhana, tentang bagaimana kita jatuh, terluka, kemudian patah. Tentang perjuangan yang selalu berujung penolakan. Tentang kepercayaan yang dikhianati keadaan. Juga..... Tentang mereka. Arka dan Risya. ******...