ENAM

31 2 0
                                    

Malam seperti ini jarang sekali datang. Mungkin dengan perhitungan rumus yang pasti, beberapa tahun sekali hal ini akan terjadi. Dimana, matahari menghalangi cahaya Bulan, semua tampak bercahaya merah. Kelam, sudut malam ini begitu terkutuk. Hantu bahkan enggan untuk keluar, karena takut matahari marah terhadapnya, dan ia di hukum mati atas tindakannya. Sungguh menyedihkan.

Imajinasi dimalam hari memang perlu diberi batasan,

"Klak..." Suara pintu terkunci dan itu hanya terdengar di telingaku. Keadaan membusuk, bau tak sedap memenuhi ruangan. Aku berlari menuju pintu ingin segera keluar dari sini. Terinjak sebuah bunga mawar merah, disampingnya terdapat surat bermotif bercak darah.

"Malam ini aku takkan membiarkanmu hidup!" isi dari surat itu. Tentu aku takut dan berusaha keluar dari kamarku. Seketika, aku menangis. Semua barang yang ada di kamar ini terbang kesana kemari menakutiku. Tangisku semakin kencang. Ketukan di pintu semakin menakutiku. Bayangan-bayangan mulai bermunculan. Dalam keadaan terduduk lesu, aku pasrah dengan gangguan ini dan ingin segera pingsan.

Namun, hal yang ku inginkan itu tak kunjung ada. Aku benci dengan tubuhku yang tidak bisa pingsan pada saat seperti ini.

"Ayo buka matamu," bisikan perempuan di telinga kananku membuatku penasaran.

Ketakutanku sudah tidak mampu mengimbangi hal yang berada disini. Aku pun berteriak sekeras mungkin, semoga tetanggaku mendengarnya. Ya, suara langkah kaki terdengar mendekati dari luar. Nampaknya, aku akan tertolong dari situasi seperti ini. Namun kiranya hal itu takkan terjadi. Tetanggaku mendobrak pintu dan tangannya sedang menggenggam pisau. Di sekitar pisau itu terdapat bercak darah. Dia mendekatiku dengan wajah seram, dan,

"Slaaaaaaabbb" tubuhku tertancap pisau, darahku mengalir deras dari perutku. Rasa panas di bagian perut, Pandanganku mulai kabur, dan semuanya menjadi gelap.

***

Mataku mulai kubuka. Deru napas masih saling mengejar dengan oksigen yang ada. Dada berdetak kencang, setelah mimpi buruk yang terjadi.

"Kamu kenapa, Bil?" Khadija terlihat khawatir disampingku.

"..." aku hanya terdiam, tak sepatah kata pun kujawab. Perasaan takut akan mimpi itu masih ada. Perlahan, aku mulai menenangkan diri.

"Kok diem?"

"...aku tadi mimpi buruk."

"Yah, ga bisa di bilangin sih... aku kan udah ngelarang kamu tidur di kelas. Bandel!" ujarnya, "Ke kamar mandi gih, cuci muka..."

Memang sih, cuci muka mungkin yang terbaik untuk kulakukan saat ini.

"Iya..." jawabku.

Tanganku yang masih kupakai menjadi bantal, segera kurapikan. Kuluruskan tangan hingga benar-benar rileks. Rasa tegang mulai ku buang, dan akupun berdiri dari dudukku. Kursi yang mulai tua itu kutinggalkan. Aku melangkahkan kaki sedikit demi sedikit keluar, teman-temanku sedang berbahagia, mereka tertawa. Ada yang sedikit ditahan, ada juga yang keras. Kupikir ada apa?

Lorong sekolah mulai menjadi panduan. Rasa kantuk masih menjadi serangga dikepalaku. Kusegerakan beranjak menuju kamar mandi, beberapa saat berjalan. Aku pun tiba. Kamar mandi itu sedikit bau, kotor, kurang terawat. Maklum, biasanya kamar mandi sekolah itu seperti ini adanya. Kuambil segayung air, kubasuh muka hingga kantukku hilang. Lega rasanya. Akhirnya aku kembali.

Masuk melalui pintu yang sama, guru sudah duduk rapi di depan kelas. Aku mencium tangan Bu Ranti sebagai tanda penghormatan. Bu Ranti menyilakan duduk. Kakiku melangkah cepat ke tempat dudukku.

"Kamu ada yang aneh ga?"

"Aneh apa, Khadija?"

"Itu lho, kamu main keluar aja, ada Ibu loh di depan daritadi..."

Sejauh Mata MemandangWhere stories live. Discover now