Duduk tenang sendirian pada malam hari, lampu-lampu menyala semua di setiap sisi taman kembar. Tidak ada kata gelap pada zaman modern, terkecuali di daerah tandus nan kosong tanpa penghuni. Tapi, di sekitar rumahku mana bisa kosong tanpa penghuni? Ayahku adalah seorang arsitek, beliau pintar meramu estetika, bisa dikatakan sudah ahli. Bukti otentiknya ya taman kembar ini tempat aku bermain dari dulu hingga sekarang. Tak bosan. Di rawat secara berkala, diganti bila rusak, tak terbersit sedikit pun untuk dijual.
Seseorang datang mendekati dari pekat malam. Menyatu dengan monokrom, lampu yang menyinarinya menolong mataku untuk menelisik siapa dia. Aku tatap lekat-lekat.
"Jam segini kamu belum tidur?" Sosok itu berucap dan dia adalah Risya. Dia duduk di depanku lalu tersenyum kecil, manis.
"Tumben kamu ke sini malam-malam. Bukannya kamu itu jarang keluar rumah, ya?" Tanyaku.
"Aku bete banget hari ini. Badmood tau. Hibur aku dong. Aku ke sini karena tau, kamu pasti ada di sini," gerutu Risya, wajahnya mulai cemberut dan matanya berair sedikit seakan menahan sesuatu.
"Curhat aja, aku dengerin kok," ucapku.
"Orang-tuaku berantem lagi dan tadi aku kena marah, aku males banget deh, padahal aku enggak salah sama sekali. Mungkin karena pelampiasan aja kali ya," ucap Risya. Dia mulai tak tahan menahan tangisnya tapi masih tetap berusaha.
"Orang-tuamu berantem karena apalagi?"
"Enggak tahu. Ga jelas pokoknya."
"Iya, deh."
"Bil... Shhh," Risya terdiam sejenak, "A-aku suka kamu..." Ungkap Risya malu-malu, wajahnya memerah sedikit, dan dia memalingkan muka dariku.
Aku terkejut, terdiam sejenak dan masih mencerna apa yang dia katakan.
"Bukannya si Andre suka sama kamu, ya... Tapi, makasih atas rasa sukanya, Sya."
"Dia itu nyebelin tau," Ucap Risya, Mulutnya manyun karena kesal.
"Gimana, ya. Aku juga suka kamu sih tapi bukan karena ingin pacaran gitu. Aku suka kamu karena kamu memang temanku."
"Yah, kamu sukanya sama si Bintang sih, ya. Maklum aku mah apa, terlalu tomboy," ucap Risya, dia mulai kesal.
"Bukan gitu juga..." Ucapanku dipotong, "terus gimana?" Ucap Risya. "Aku belum mau pacaran dulu."
"Yahh... Yaudah. Jadi ga mau, ya?" Risya akhirnya menyerah.
"Maaf, ya."
Kami terdiam sejenak menatap langit yang mulai mendung, hati Risya mungkin sedang mendung juga. Dimarahi, ditolak, lengkap sudah. Tapi, aku tahu dia itu kuat. Dia takkan kalah begitu saja dengan apa yang terjadi hari ini. Dilihat dari wajahnya dia tetap tersenyum, meskipun aku tahu, dia tersenyum palsu.
"Kamu tau ga, Bil. Kenapa aku terus tersenyum," ucap Risya sambil terus tersenyum.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Karena tersenyum itu dapat menyenangkan hati. Aku terlihat ceria."
"Aku paham. Tetapi menangis juga dapat menghilangkan luka."
"Tidak. Aku tidak suka menangis, biar saja hujan itu yang menangis. Aku tidak mau."
"Hujan menangis kita akan berpisah loh," godaku.
"Biar saja."
Hujan rintik-rintik mulai turun, melihat bulan yang terlihat tersenyum kini muram, tertutup awan. Aku dan Risya segera berdiri pergi tanpa kata pamit. Aneh. Dia tak begitu ceria hari ini, mungkin masalah yang ia tanggung begitu berat. Maafkan aku. Sebenarnya aku bisa saja menerimamu. Tapi, aku telah mencintai seseorang sebelumnya. Jadi, semua yang kau ucapkan itu hanya jadi kenangan untukku saja, bukan untuk kuperjuangkan.
YOU ARE READING
Sejauh Mata Memandang
RomanceKisah Habil seorang lelaki yang ingin menjadi penulis. Bertemu dengan seorang perempuan yang menyentuh hatinya Bernama Khadija, Semua berawal dari pertemuan yang amat singkat, berjauhan selama beberapa tahun terhalang pulau yang berbeda. Masing-mas...