Mata mulai terbuka perlahan, kesadaran mulai menghampiri, suara adzan subuh dan kokok ayam bersatu padu berirama. Mataku masih lengket, badanku kaku, dingin sekali hari ini, bahkan tak mampu menandingi antartika; tubuhku sudah membeku sedari tadi. Kupikir beberapa menit tertidur tidak apa-apa. Aku terlelap kembali.
"Habil! Mau sampai kapan kamu tidur? Ingat nak, ini hari senin," teriak Emak dari keluar kamar. Mataku terbuka dan langsung terbelalak ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 5:30 pagi.
"Mati, aku..." Aku buru-buru bangun mengambil air wudu, lalu melaksanakan sholat subuh meskipun matahari sudah mulai timbul. Maklum karena khilaf. Setelah selesai, aku bersiap mandi.
"Mak, kenapa tidak bangunin aku?" Wajahku memelas ke Emak, "Hari ini senin, aku masuk kelompok paduan suara jadi harus datang cepat-cepat kalo tidak nanti bu Ranti akan menghukumku," repetku kesal.
"Emak sudah bangunin kamu daritadi, dasar kebo aja kamunya," Emak membalas kesalku. Tangannya berkutat dengan cucian piring di wastafel dapur. "Ya sudah gih berangkat."
"Iya, Mak. Aku berangkat dulu," tak lupa mencium tangan dan kening Emak. Tanganku ku julurkan ke Emak seperti gelandangan minta makan. "Bekalnya, mak... Hehe..."
Emak memasukkan tangannya ke baju dasternya, mengambil dompet dari tempat paling jelas namun paling tersembunyi di dunia. Kebiasaan Emak-emak sih kebanyakan begitu. Dikeluarkanlah uang 5 ribu, aku terima dengan senang hati, "makasih, Mak. Kalo gini Emak cantik banget hehe," godaku.
***
Hari senin pertama di semester kedua aku tidak boleh terlambat. Sudah 6 bulan aku bersekolah di sini. Dan sebenarnya, aku pernah lulus di sini, masih ingat dengan jelas meskipun ada yang hilang sedikit dari ingatan. Aku tahu hal yang dulu itu menyedihkan dan menyesakkan dada, hari ini akan kuperbaiki. Beberapa saat, langkahku terhenti di depan rumah Bintang. Di depan mata mereka keluar bersamaan, harumnya tercium meskipun jarak yang lumayan masih jauh---memang kebiasaan perempuan itu rapi dan wangi, makanya aku suka perempuan.
"Kak, ayo barengan sama kita," tegur Khadija dengan cadarnya yang membuat hati ini adem rasanya.
"Jangan ajak dia, Dija, dia itu buaya tau..." Celetuk Bintang sembarangan. "Becanda kok, ayo sih bareng ke sekolah," Ajaknya sambil melangkahkan kaki.
"Jujur, ya. Kalian hari ini cantik banget, lho," godaku ke mereka.
"Nah, keluarkan sifat aslinya... Buaya mana bisa ga godain cewek, ck, ck, ck," Bintang terkekeh.
Tanganku menepuk kening, tidak pelan dan tidak keras, sedang-sedang saja. "Bukannya perempuan itu suka dipuji ya?" Ujarku kesal namun bibir tersenyum.
"Maaf, ya. Aku tidak suka dipuji, karena hanya Allah saja yang patut dipuji, aku hina dan lemah. Tidak ada bagus-bagusnya sama sekali," Celetuk Khadija menceramahiku, serasa debat aku membalas lagi.
"Bukannya Allah telah memberikan manusia kesempurnaan?" Balasku dengan nada mulai menegang.
Dia terdiam sesaat tak membalas tanyaku. Kaki kita masih melangkah, baru melewati perempatan pertama, meskipun sedikit berbeda, ada rumah yang sudah selesai dibangun masih berbentuk beton warna semen, belum di cat sama sekali. Khadija terlihat kesal, terlihat dari matanya yang menunduk ke bawah dan jalannya sedikit aneh.
"Kamu kok diam, marah ya?" Tanyaku ke Khadija.
"Aku ga marah kok, cuman tak suka berdebat saja. Aku lebih memilih diam daripada berceletuk sembarangan," Khadija memalingkan muka dari Habil.
"Eh, ya... Kalian berdua, masih pagi udah ribut. Udah ah baikan, kan kalian baru kenal juga," rengek Bintang menengahi dengan kesal. Aku membalasnya dengan tersenyum namun tak mengeluarkan suara.
YOU ARE READING
Sejauh Mata Memandang
Lãng mạnKisah Habil seorang lelaki yang ingin menjadi penulis. Bertemu dengan seorang perempuan yang menyentuh hatinya Bernama Khadija, Semua berawal dari pertemuan yang amat singkat, berjauhan selama beberapa tahun terhalang pulau yang berbeda. Masing-mas...