Matahari telah terbit membangunkan gue dan juga Suga yang masih tertidur dengan tangan yang melingkar di pinggang gue, gue tersenyum tipis lalu mengelus rambut halus Suga dan segera membangunkannya, "Bang, ayo bang—" kecupan di bibir gue menghentikan ucapan gue dan Suga yang melakukan itu hanya tersenyum lalu bangkit dari tidurnya dan berlalu masuk ke dalam kamar mandi, "Gila lu!" Teriak gue yang membuat Suga hanya terkekeh geli.
"Mohon maaf gue khilaf lagi," ucapnya dengan santai yang membuat gue berdecak sebal sambil sesekali mengumpat pada Suga yang masih berada di dalam kamar mandi.
Setelah selesai bersiap-siap, Suga segera mengantarkan gue ke sekolah dengan melewati sepanjang perjalanan ini dengan perdebatan karena ulah Suga tadi pagi, namun tetap saja Suga masih tidak mau kalah dan mengatakan bahwa ciuman itu biasa sehingga membuat gue masuk ke dalam sekolah dalam keadaan yang benar-benar buruk, apalagi di sambut dengan sebuah kotak teror yang baru saja gue dapat dari Yoo Mi tadi.
'Sekeras apapun lo nutupin masalah lo, gue tahu itu. Dasar, so kuat!' Lirih Yoo Mi di dalam hatinya sembari menoleh ke arah samping memperhatikan sahabatnya yang selalu menutupi masalahnya sendirian, Yoo Mi tahu Niki sedang menghindari pertanyaan yang akan keluar dari mulut Yoo Mi tentang sebuah kotak yang tadi Yoo Mi berikan, pasalnya saat menerima itu wajah Niki berubah ketakutan, Yoo Mi bahkan tahu jika saat ini temannya sedang tertawa untuk menutupi kesedihannya.
"Lu kenapa sih? Berisik!" Protes Yoo Mi pada gue, gue menoleh ke arah Yoo Mi lalu tersenyum ke arahnya dengan senyum yang mengembang.
"Gue greget lihat mereka main basket Mi, baru kali ini gue bisa teriak bebas kaya orang gila, rasanya senang." Jawab gue, pasalnya gue dan Yoo Mi kini sedang menonton anak Wanna One bermain basket di saat jam pelajaran kosong seperti ini, gue menghela napas lega lalu kembali fokus menatap ke depan, dan tidak lama kemudian Jihoon datang menghampiri gue dan menarik tangan gue yang entah akan di bawa kemana gue sekarang.
"Awwww." Lirih gue dengan pelan karena sekarang Jihoon sedang menggenggam tangan yang semalam menjadi korban gue karena sebuah cutter.
Yoo Mi dan Jihoon menoleh secara bersamaan lalu menatap ke arah gue dengan khawatir, Jihoon bahkan tidak menarik tangan gue dengan keras tadi, tapi gue meringis sehingga membuat mereka menatap ke arah gue dengan bingung sekarang.
"Mau ke rooftop kan? Ayo kak." Kini gue menarik tangan Jihoon untuk membawanya ke rooftop, walaupun gue tahu Yoo Mi pasti akan mengamuk setelah ini karena meninggalkan dirinya sendirian, namun menghindari pertanyaan dari Yoo Mi adalah hal yang terpenting sekarang.
"Are you okay?" Tanya Jihoon yang kini sudah terduduk di samping gue, gue hanya mengangguk lalu membaca buku novel yang baru saja gue pinjam dari perpus tadi.
"Tangannya berdarah itu!" Gue melirik ke tangan mungil gue dan ternyata tidak ada darah sama sekali karena gue memakai sweater tebal saat ini sehingga tidak mungkin darah mengalir hingga menembus sweater gue, apalagi saat ini gue memakai sweater berwarna merah ati yang tidak akan mungkin menampakan jelas luka gue semalam, apalagi darah.
"Bohong!" Ketus gue yang hanya di jawab kekehan oleh Jihoon, Jihoon akhirnya menyingkap sweater gue lalu membuka kotak P3K yang baru saja dia ambil tadi setelah meninggalkan gue selama beberapa menit di sini.
"Gue tuh paling ga suka di bohongin, apalagi menutupi masalah lu sendirian kaya gini, ini kenapa? Mau bunuh diri?" Tanya Jihoon yang kini sudah menempelkan obat di tangan kiri gue.
"Bunuh diri apaan gue tuh kena te—" sialan, mulut gue kali ini gak bisa di jaga sampai harus keceplosan seperti ini.
"Tembok kak," lanjut gue asal yang membuat Jihoon malah menggelengkan kepalanya tak percaya.
"Ini luka goresan cantik, mana ada kena tembok! Sudah jujur aja sama gue, ini kenapa? Gue merhatiin lu daritadi karena lu terus meringis sambil megangin tangan lu ini." Jadi karena ini Jihoon bisa tahu dan segera mengambil kotak P3K?
Gue hanya terdiam dengan posisi serba salah sekarang, karena Jihoon terus mendesak gue, akhirnya gue memutuskan untuk menceritakan beberapa hal yang bisa gue ceritakan, gue bahkan tidak percaya jika dengan bercerita seperti ini hati gue bisa merasakan tenang.
"Makasih ya kak Ji.." ucap gue setelah menceritakan semuanya pada Jihoon yang hanya Jihoon jawab dengan anggukan.
Setidaknya Jihoon sekarang tahu jika Niki yang selalu ceria di depan semua orang adalah Niki yang memakai topeng untuk menutupi semua masalahnya.***
"Tumben ada di rumah bang?" Tanya gue pada Suga yang sedang sibuk menatap layar laptopnya tanpa berkedip sekalipun.
"Mager gue keluar rumah." Jawabnya, gue hanya mengangguk lalu membaringkan tubuh gue di sofa tepat di belakang tubuh Suga sehingga membuat gue bisa dengan mudah mengganggu Suga yang sedang sibuk mengerjakan tugas kuliahnya.
"Tangan lu udah lu obatin?" Tanya Suga dengan suara parau.
"Tangan gue? Kenapa emang?" Tanya gue bingung yang hanya Suga balas dengan berdecak sebal.
"Jangan bego ya, lu mau ninggalin gue sendirian? Lu mau bikin gue khawatir? Lu mau bikin gue tersiksa karena lu mau bunuh diri kaya semalem?" Ucap Suga yang membuat gue hanya membulatkan mata tidak percaya karena Suga tahu tentang luka di tangan kiri gue yang memang jika orang lain yang tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pasti akan menganggap jika gueingin bunuh diri.
"Gu—gue gak maksud bunuh diri ko, ini gak sengaja kemarin pas masak gue ngantuk terus tangannya ke gores." Jawab gue yang membuat Suga membalikan tubuhnya untuk menatap gue yang hampir saja menangis karena sudah tidak kuat dengan apa yang gue alami selama ini.
"Ini semua karena gue ya, dek?" Tanyanya yang membuat gue dengan cepat membalasnya dengan menggelengkan kepala.
"Engga ko, bang." Jawab gue, Suga yang awalnya berjarak sedikit jauh dari sofa kini mendekati gue dan menopang dagunya di atas sofa dengan tatapan mata yang tidak berhenti menatap manik mata gue dengan serius.
"Maafin gue yang gak pernah bisa jadi abang, ibu sekaligus ayah yang baik buat lo, gue bahkan malah membuat lu semakin tersiksa karena perasaan gue ke lu, gue—"
"Ini bukan karena lu bang, udah sana kerjain tugasnya! Gue tungguin lu di sini sampai kelar." Pinta gue yang membuat Suga dengan segera mengecup kening gue lumayan lama lalu kembali fokus pada tugasnya.
Saat detik itu juga gue diam-diam terisak, gue menatap punggung Suga dengan senyuman di sudut bibir gue lalu memeluknya dari belakang.
"Maafin gue karena selalu bikin lu khawatir, bang." lirih gue dengan kepala yang kini menempel pada punggung hangat milik Suga.
"Gue yang harusnya minta maaf karena gak becus jagain lu, dek."
"Kaya lagi lebaran ya kita, maaf-maafan mulu, hehe." Ucap gue di sertai kekehan lalu melepaskan pelukan gue yang melingkar pada tubuh Suga dan segera bangkit untuk kembali ke atas sofa.
Suga sendiri hanya bisa mendengus pelan sambil sesekali melirik ke belakang melihat adiknya yang sedang terisak, haruskah Suga diam saja di saat seperti ini? Setidaknya mencari kebenaran tentang apa yang terjadi pada adiknya lah yang menjadi prioritas Suga saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Psycopath Brother and My Love Story
Roman pour AdolescentsWarning 17++!! Pembaca di harap bijak karena terdapat kekerasan serta pembunuhan yang tidak boleh ditiru. Cerita ini hanya fiktif belaka sesuai dengan imajinasi penulis. Sinopsis : Membuat Suga menderita adalah tujuan si peneror, namun apa yang ter...