Ekhm, hai!
Sebagai permulaan, mari mengenalku si pemeran utama lebih dalam.
Yah, namaku seperti yang sudah kalian tebak, Chitra Sabrina Pratama. Iya, sebenarnya ada Pratamanya, tapi kepanjangan, jadi suka aku lupakan hehe. Aku gadis berusia tujuh belas, dengan muka yang... err, takut dibilang sombong, tapi... yah, mukaku biasa saja.
Hehe, iya serius biasa aja.
Sebenarnya kata orang-orang, aku itu mirip banget dengan Papa, tapi versi perempuan dan versi buluk. Kurang ajar memang orang-orang. Tapi kalau dilihat di foto sih, memang iya. Wajahku itu plek banget dari Papa. Bedanya, Papa itu putih bersih, potongan rambutnya rapi dan menurut orang-orang, Papa memang orang yang sangat rapi dan peduli dengan penampilan. Kebalikan dariku.
Kulitku agak coklat akibat sering lupa bawa jaket saat sekolah—sebenarnya males juga, sih. 'Kan panas ya, masa harus pakai jaket lagi. Gerah, dong. Rambutku hitam pekat dan gak pernah lagi dimodelin macem-macem selain rata. Beneran, itu karena aku trauma. Waktu kelas tiga SD, tukang salon langganan Mama menawarkan model layer yang katanya bakal cocok dan bagus banget untukku. Nyatanya? Rambutku malah jadi abstrak dan aku sukses jadi bual-bualan sekelas selama sebulan lebih.
Aku memang secuek itu dengan penampilan, berbanding terbalik dengan Sam, adik kurang ajarku. Nama lengkapnya Samuel Pratama, iya curang memang, namanya dia hanya dua kata. Yah, sebenarnya ini karena aku perempuan sendiri di antara saudara-saudaraku, jadi aku harus menampung nama kedua orangtuaku sekaligus.
Anyway, si Sam ini memang anaknya gak tahu diri. Mentang-mentang anak bungsu, dia jadi seenaknya. Serius, dia itu kalau mau apa-apa harus diturutin. Ehm, sebenarnya nggak juga sih. Dia lebih ke, selalu berusaha mendapatkan apa yang dia inginkan. Tapi tetap saja, aku pasti akan dirugikan di sini.
Kayak suatu waktu. Dia memang hobi fotografi, terus gebetannya minta tolong dia jadi fotografer di acaranya si gebetan. Sayangnya, kamera kami sedang diservis—gara-gara siapa? Gara-gara Sam! Si sok tahu itu nggak bisa dibilangin, ngotot menyimpan kamera tanpa melepas batrenya. Alhasil? Kamera yang sudah cukup berumur itu tidak mau menyala, entah batrenya yang bermasalah atau apa.
Kemudian karena maksa mau mengambil hati gebetannya, dia berniat menyewa kamera. Sayangnya, duit jajan mingguannya dia sudah terlanjur habis saat main futsal bareng anak kelasannya. Alhasil? Dia ngotot minta ke aku.
"Chit, ayo lah pinjem. Dua ratus doang, sih. Lo kalo jalan sama temen lo aja, banyak duit lo!"
"Ye, ya iya ada lah kalo buat gue sendiri! Duit, duit gue," balasku acuh kala itu.
"Ya udah gue pinjem, dong. Lo kalo gue jajan 'kan selalu gue bagi."
"Ye, pamrih."
"Ya udah pinjem."
"Nggak, minta Bang Jo sana."
"Ih, lo mah. Nggak kasihan apa sama Bang Jo? Dia lagi capek nyusun skripsi, lagi stop gawe. Pasti duitnya lagi tipis."
"Ya kalo lo kasihan, gak usah gaya-gayaan mau nyewa kamera!"
"Gue kasihannya sama Bang Jo, bukan sama lo!"
"Ya udah sana!"
"Chitraaaaa!"
"Bacot ya lo. Sana!"
"Mama!!! Chitra kemaren makan samyang! Dua lagi—"
"Eh anjing! Iya ini ambil ah, bangke lo!"
Iya, dia memang se-anjing itu.
Sebenarnya, aku lebih mirip Bang Jo kalau soal penampilan. Nama lengkapnya Jonathan Pratama. Kami sama-sama kurang peduli sama penampilan. Bedanya, kalau Bang Jo begitu karena dia sibuk. Dia kuliah, sekalian kerja. Kebayang lah, kayak gimana capeknya jadi dia. Tapi anehnya dia ini masih sempet-sempetnya isengin aku. Enggak ngerti juga sama dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Chitra
Teen Fiction"Chit, pacaran aja yuk." "Nggak, ah." "Ke... kenapa?" "Ya kali gue pacaran sama gay macem lo." "Anjing, gue serius, Chit." "Ya lagian, masa gue mau pacaran sama orang yang udah punya pacar? Emangnya gue gila." "Gue suka sama lo, Chit." "Oh... HAH?!"...