Bahagia?
Sedih?
Sakit?
Apa semua arti kata itu?
Bagaimana rasanya saat kau sedang merasa bahagia?
Bagaimana rasanya saat kau sedang menderita?
Dari kamus yang aku baca, bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan).
Tapi, apa itu perasaan senang? Apa itu menyusahkan?
Mengapa aku tak tau bagaimana rasanya semua perasaan itu?
Mengapa hanya aku yang tak dapat merasakan semua perasaan itu?
.
.
.Hari itu dimulai saat usiaku lima tahun, saat tak ada lagi sosok ibu tempatku bersandar.
Duniaku berbalik seratus delapan puluh derajat, karena seseorang yang aku panggil ayah.
Awalku mengenal ayah adalah sosok yang begitu penyayang, namun semua itu lenyap bersamaan dengan kepergian ibu.
Ayah yang tiba-tiba aku miliki diumur empat, juga seorang saudara laki-laki.
Setidaknya keluargaku pernah bahagia walau sesaat, setidaknya aku pernah merasakan kasih sayang seorang ayah walau tak sedarah.
Dan yang paling aku syukuri adalah memiliki seorang kakak yang begitu tulus menyayangiku.
Dia yang pertama, melindungiku saat tangan-tangan ayah merisakku.
Dia yang pertama, mengulurkan tangan untuk membangkitkanku.
Namun, dia pula yang pertama dan satu-satunya alasan, mengapa ayah merusakku, memperlakukanku seperti sebuah penghapus, hanya untuk menghapus semua kesalahan kakak.
Seharusnya aku membenci kakak, namun usiaku terlalu muda untuk mengenal benci.
Kini usiaku delapan belas, namun aku tetap tak dapat membencinya.
Aku fikir itu hal yang wajar, namun ternyata bukan hanya benci, rasa lain seperti sakit sedih bahagia pun aku tak tau bagaimana mengekspresikannya, karena aku fikir aku tak pernah merasakannya.
Tapi kakak lebih mengertiku dari pada diriku sendiri, bahkan kuliah kakak mengambil jurusan psikolog hanya untuk mencari tahu apa yang terjadi padaku.
Dan saat kakak menjelaskan secara singkat, aku bahkan tak dapat terkejut.
Alexithymia..
Setidaknya aku mengerti mengapa rasa itu terlihat hampa.
.
.
."Jimin ingat, kau harus tersenyum jika ada yang menyapamu"
"Bahkan orang yang tak ku kenal?"
"Ya"
Jimin menghela nafas, mengapa ia harus melakukan hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
"Aku tak ingin kuliah hyung"
"Kau harus!"
Yoongi mulai menaikkan suaranya karena sedari pagi hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Jimin.
"Aku tak membutuhkannya, tempatku dirumah bukan disini"
"PARK JIMIN!"
Yoongi dengan segala penyesalannya. Ia tahu maksud Jimin dengan berkata jika tempatnya ialah dirumah adalah hanya untuk menunggu sang ayah menghukumnya atas kesalahan Yoongi.
Dan Yoongi membenci itu, dia membenci bahwa dirinya adalah alasan kebahagiaan seorang anak terenggut.
Dan kini Yoongi hanya mendedikasikan dirinya untuk kehidupan Jimin. Bagaimana agar Jimin mendapatkan kehidupan normal layaknya orang diluar sana.
"Kau tau kau tak pantas mendapatkan semua itu Jimin"
"Aku pantas. Kau ingat? Aku bahkan tak merasakan apapun saat ayah memukulku, itulah alasanku dilahirkan hyung"
"Pergi ke kelasmu"
"Apakah aku masih harus tersenyum?"
"Ya"
"Baiklah"
Jimin selalu mendengarkan Yoongi, karena ia tau rasa bersalah Yoongi hanya akan membawanya pada hal baik.
Seperti kuliah pada jurusan sastra, Yoongi memaksa Jimin untuk mengambil jurusan tersebut karena banyak kata yang perlu Jimin pelajari.
Bahkan kata sederhana seperti sakit, Yoongi selalu menekan kata itu agar Jimin mengingatnya.
Bukan Yoongi menginginkan Jimin untuk merasa sakit, namun Yoongi ingin Jimin tau bahwa rasa sakit adalah rasa yang mengerikan.
Sehingga Jimin tau, bahwa dirinya tak pantas untuk menerima semua rasa sakit itu.
Yoongi menatap punggung Jimin nanar, bahu mungil itu tak pantas disakiti, bahu mungil itu begitu rapuh bahkan untuk didekap.
Sekali, hanya sekali, Yoongi ingin menciptakan senyuman di wajah Jimin.
Walau sesaat, walau setelahnya akan memudar, setidaknya sekali, hanya sekali Yoongi ingin melukiskan senyuman dari bibir Jimin.
Dan Yoongi akan sangat bersyukur jika hari itu segera datang.
.
.
.
.
.Tbc
-aciw
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty of You
FanfictionJimin terlahir bagai sebuah penghapus, menghapus kesalahan dari semua goresan sang pena. Tanpa sadar menghapus dirinya, menghilangkan segala rasa untuk bertahan. "Tak apa hyung, aku baik-baik saja" -Jimin "Kau lebih berharga dari yang kau kira Park...